Ch. 18: Kakak sepupu?

953 210 25
                                    

Pembawaan Awan mungkin terlihat santai, selalu tersenyum ketika menanggapi situasi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pembawaan Awan mungkin terlihat santai, selalu tersenyum ketika menanggapi situasi. Kepercayaan diri Awan itu tinggi, demikian kepekaannya. Matanya teliti mengamati. Bahkan sumbu pengingat alam sadarnya telah memberinya alarm, hati-hati. Satu kata namun maksudnya lumayan dalam. Hanya dengan mengamati situasi belaka dia bisa langsung menebak.

Kayak abang sendiri katanya, huh? Siapa coba yang mau percaya omong kosong itu.

Mungkin dia bisa memercayai omongan Jiva, mungkin juga maksudnya agar Awan tak salah paham, tapi pria sebelahnya lagi sulit untuk membuatnya percaya. Samar-samar namun pasti, Awan bisa merasakan sinyal permusahan darinya. Mata itu menyiratkan ketidaksukaan dan sikap persaingan yang begitu intens. Sinis, tajam, dan menyelidiki. Jika Awan punya mental lemah, paling dia langsung lari mencicit ketakutan.

Dalam hati Awan tertawa geli. Ada dorongan dalam dirinya untuk menerima sinyal permusuhan dari pria tersebut. Menjadikan orang yang baru dikenal untuk jadi saingannya. Ah, lucu sekali. Bayangan dirinya yang hanyalah seorang mahasiswa biasa yang harus bersaing sama salah satu artis beken nasional membuatnya tertawa geli.

Pesimis? Ah, enggak juga. Awan orangnya selalu percaya diri sama kemampuannya. Dia tidak gampang goyah hanya dengan sekali intimidasi. Alih-alih pesimis, tepatnya dia lebih merasa tak mau ambil pusing sekarang. Kepekaannya telah menyelamatkan akal warasnya agar tak terbutakan oleh persaingan tak terduga ini. Memperjuangkan sesuatu memang suatu keharusan, tapi tak semua orang memiliki sifat mengebu-ebu untuk bersaing.

Awan siap untuk bersaing jika dia yakin punya peluang. Tak perlu untuk terburu-buru. Amati, pahami, dan kerjakan. Persiapan itu harus mengandalkan akal baik daripada sifat bawaan manusia, keegoisan semata-mata untuk mengakui seseorang sebagai miliknya. Jadi egois bukan gayanya. Jika mau bersaing dia harus lebih dulu mengenali targetnya lebih baik.

Dan lagipula manusia itu selalu punya pilihan. Itulah sebabnya ada menang dan kalah.

Bila takdirnya untuk jadi sang juara, maka upayanya terbayarkan sudah. Namun, apabila dia ditakdirkan untuk dikalahkan, maka upayanya masih kurang maksimal. Kalah bukan berarti dia lemah, mungkin kemenangan itu memang bukan ditunjukkan untuk dirinya. Awan hanya perlu mengingat bahwa perasaan seseorang tak bisa dipaksakan. Disamping dua pilihan yang ada, dia memegang kebenaran lain bahwa Awan masihlah orang kemarin sore yang baru mengenal Jiva. Dibandingkan pria ini tingkatan mereka belum ada sebanding.

“Kayaknya malam ini bukan kesempatanku,” ucap Awan terdengar ganjil bagi Jiva. “Lain kali aja aku nganterin kamu pulang.”

“Eh? Berarti Mas Awan ke sini mau nganterin aku pulang?” tanya Jiva.

Garis bibirnya sedikit tertarik ke atas. Awan mengiakan seiring lirikn matanya yang lurus tertuju pada Ryan. “Niatnya gitu. Mungkin lain kali.”

“Kenapa gak jadi? Malahan bagus dianterin. Kan, biasanya cowok suka gitu. Cowok suka nganterin cewek pulang apalagi malam-malam begini. Itu namanya gentlemen. Tapi banyak juga buaya darat ngandelin jasa anter pulang cuma buat modus.” Jiva yang terus mengoceh soal ini itu, tak sadar bahwa intensitas persaingan di antara dua laki-laki di sisinya makin memanas. Dengan pihak sebelah kirinya yang dikit lagi kepulan asap bisa keluar dari dua lubang telinganya, lalu pihak kanan yang malah terhibur mendengar banyolannya dengan mengesampingkan fakta malam ini dia kalah.

Knock Knock Your HeartWhere stories live. Discover now