[4]. Penawar Luka

6.5K 1.1K 138
                                    

Halo, apa kabar penghuni lapak Mas Tama? Kangen aku tuh! 😭

Sampai pengen mewek saking pengennya lanjut. 😭

Kasih emot cinta dulu, dong, buat aku biar semangat lagi lanjut cerita ini.

❤❤❤❤❤

Vote dulu boleh, deh, biar makin membara semangatnya ini! 🥳

Happy reading! 🥰






"Mas, kok, diem?! Kamu udah ketemu sama Risa belum?!" Dari layar panggilan vidio, perempuan berblus merah itu bertanya geram

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Mas, kok, diem?! Kamu udah ketemu sama Risa belum?!" Dari layar panggilan vidio, perempuan berblus merah itu bertanya geram.

Tama yang sejak tadi duduk sembari meneguk sekaleng bir itu mengembuskan napas lelah. Manik hitamnya kembali menatap layar ponsel yang diletakkan tersandar pada vas bunga di atas meja bar apartemen. "Udah, Mama, tiap hari juga ketemu karena satu kantor," ulangnya, masih dengan intonasi lembut, tapi sedikit ada penekanan.

"Terus, jadi kamu lamar?" Pertanyaan ketiga kalinya sepanjang panggilan vidio.

Tama baru saja menapak di unit apartemen sekitar sepuluh menit yang lalu. Belum lewat senja, sebab ketika ia duduk di sofa ruang tengah tadi, pemandangan Merapi dari jendela kaca itu masih terlihat meski lamat-lamat mulai memudar ditelan gelap. Rima melakukan panggilan begitu putranya berkabar baru sampai di unit apartemen. Tiga hari memang anak sulung dari keluarga Baskoro itu sengaja menolak panggilan ibunya. Alasan klasik, sibuk di tempat kerja baru.

"Mas, ih! Kamu bikin Mama khawatir ini! Buruan dinikah, ah! Takut Mama!" Rima semakin jengkel. Saking jengkelnya, Tama bisa melihat layar ponsel di seberang sana bergerak-gerak tak keruan karena ibunya mengentak-ngentak tak sabaran.

"Apa, sih, Ma? Takut apanya?" Laki-laki itu meletakkan kaleng bir yang hampir kosong ke meja bar. Keningnya berkerut, tak kalah jengkel dengan sang ibu.

"Gimana, sih?! Kamu udah nidurin anak gadis orang! Kalau hamil gimana coba?! Mau ditaruh mana muka Mama ini?!"

Demi membuang kecemasan Rima, Tama mengembuskan napas panjang sejenak. Ia berdeham untuk mengatur intonasi bicaranya. "Iya, Tama ngerti ...."

"Kalau kamu nggak bisa, biar Mama sama Papa yang nyusul ke situ. Kita hadapi keluarganya sama-sama. Biar Mama yang atur nikahannya nanti. Ma‐-"

"Ma ...," sela Tama. "Mama udah janji nggak akan desak-desak aku buat urusan berumah tangga. Cukup kasih restu. Oke? Aku mandi dulu, gerah. Salam buat Papa."

Dalam sekali tekan, layar ponsel menggelap. Mungkin di seberang sana Rima mulai lagi mengeluh pada Baskoro atau marah-marah tak tentu arah saking gemasnya dengan sang putra yang baru kali ini bikin masalah.

SuddenlyWhere stories live. Discover now