6 | Rahasia Aletheia

12.5K 2.9K 225
                                    

//trigger warning: self-harm

"Kalo sampe lo ketemu orang gila itu lagi, amit-amit, mending kabur. Lari sekenceng-kencengnya. Nggak usah mikirin bales dendam. Lo telepon polisi, lo—"

"Aw! Le!" Kenan mengaduh keras. "Kesel sih boleh, tapi jangan muka gue juga lo jadiin pelampiasan!"

Ale masih tampak marah bahkan setelah berjam-jam mereka pergi dari gang terkutuk itu. Emosinya tidak kunjung reda sekalipun mereka sudah duduk aman tenteram di dalam kamar Kenan. Gadis itu menurunkan tangan setelah selesai mengobati memar di wajah sahabatnya.

"Mana lagi yang luka?"

Kenan menarik seragamnya ke atas, memperlihatkan kebiruan di bagian perut. Ale mendecak sebal.

"Brengsek. Bajingan. Kriminal. Orang aneh!"

"Sabar, Le..."

"Lo nyuruh gue sabar?" salak Ale. "Liat nih, lo jadi babak belur kayak gini. Ngapain sih lo ngikutin gue? Coba kalo gue sendiri—"

"Kalo lo sendiri, adanya lo yang bakal babak belur kayak gue gini."

"Kata siapa?" Ale tidak setuju. "Tadi dia nggak ngapa-ngapain gue. HP gue langsung dibalikin."

"Iya, habis dia ngerampok lo."

Ale menghela napas tajam, menyadari Kenan benar. "Mungkin dia nggak mukulin gue... biar gue bisa bawa kita berdua pulang. Kalo gue bonyok juga, dia yang repot, kan?"

"Menurut lo dia sepinter itu?"

Ale mengangkat alis. "Emang di dunia ini yang pinter cuma lo doang?"

Kenan mengerutkan kening. "Kok sensi? Kan gue cuma na—"

"Diem, bisa nggak?" gertak Ale, mengusap memar di perut Kenan dengan kain lap hangat terlebih dahulu. "Lo beneran nggak mau ke rumah sakit?"

Kenan menggeleng. Ale mencebik lagi.

"Nanti kalo infeksi—"

"Gue baik-baik aja, Le," sela Kenan buru-buru. "Gue nggak mau Ayah-Bunda tahu."

Jemari Ale di perut Kenan sekilas berhenti bergerak. Tatap keduanya bertemu. Kenan tidak perlu menjelaskan, tapi Ale segera mengerti. Gadis itu menghela napas. Sentuhannya di permukaan kulit Kenan melembut, membuat yang sedang diobati tersenyum kecil.

"Jangan bilang-bilang, ya?"

Ale mengangguk, pelan, tanpa menatap Kenan. Emosi gadis itu akhirnya surut juga. Kini digantikan perasaan bersalah.

"Sorry."

"Yaelah. Emang lo yang mukulin gue?"

"Kalo aja gue nggak nekat pergi ke sana sendiri—"

"Hei, ini bukan salah lo, oke? Lo cuma mau apa yang jadi punya lo balik ke tangan lo." Kenan mengangkat bahu sebelum mengaduh pelan, menyadari ada yang salah pada tulangnya di sekitar sana. "Tapi yang bajingan itu tanyain ada benernya juga. Emang ada yang segitu pentingnya di HP lo, sampe lo nggak bisa nunggu polisi gerak?"

Jemari Ale berhenti lagi kali ini, sebelum ditarik sepenuhnya. "Salepnya gue tinggal ya. Pake abis mandi. Dua kali sehari."

Kenan mengamati sahabatnya berdiri dengan ragu, seolah Ale sengaja ingin menghindari pertanyaannya.

"Terus kenapa si maling itu langsung balikin HP lo? Uang di dompet lo nggak mungkin sebanding sama harganya. Kenapa juga HP lo belum dia jual waktu kita dateng? Kenapa—"

"Kalo ada yang tiba-tiba kerasa sakit, call gue."

Kenan terdiam ketika pintu kamarnya Ale tutup dari luar.

***

Langit sudah gelap waktu Ale masuk ke rumahnya sendiri.

Samar-samar, gadis itu mendengar suara air mengalir dari toilet lantai atas. Nada pulang lebih awal. Mungkin kasus yang membuatnya lembur kemarin sudah tuntas. Ale meletakkan tasnya di kursi meja makan, merapat ke konter dapur, dan menenggak segelas air dingin.

Hari ini tidak benar-benar terasa nyata. Perburuan impulsifnya berakhir dengan dompet kosong dan memar di sekujur tubuh Kenan. Gadis itu menggelengkan kepala. Dia hanya bisa berharap Om Alan dan Tante Laras tidak menyadarinya. Tapi kapan terakhir kali mereka menyadari sesuatu tentang putranya, Ale juga tidak tahu.

Gadis itu mendudukkan diri di kursi, sengaja tidak menyalakan lampu. Suara langkah terdengar menuruni tangga, sebelum berhenti di dekat dapur. Ale memutar tubuh. Nada memakai kaus kebesaran dan celana training, sebelah lengannya mengusapi rambut yang basah dengan handuk.

Aneh rasanya melihat Nada Arini Soedibyo tanpa setelan kemeja, blazer, dan rok span hitam. Hampir seolah Ale benar-benar hidup dengan wanita itu.

"Air di toilet bawah mati. Besok ada tukang ledeng yang benerin. Jam lima sore waktu kamu pulang sekolah. Kunci gerbang bawa aja. Mama pulang malam." Nada membawa dirinya ke konter dapur, membuka beberapa laci untuk menyeduh kopi. "Ada makanan di kulkas."

Ale diam saja, mengamati gerakan ibunya yang terasa begitu cekatan tapi juga terencana. Nada mengambil gula dulu, baru kopi. Karena gula lebih sulit larut daripada kopi, Ale kira. Dia menutup satu toples lebih dulu sebelum membuka yang selanjutnya. Tidak ada satu butir pun yang jatuh dari sendok takar.

Nada sudah membawa gelas kopinya keluar dapur ketika Ale akhirnya berdeham.

"Mama."

Wanita itu menoleh.

"Selamat ulang tahun."

Hening.

"Besok..." Ale berusaha menutupi kecanggungan itu dengan mengucap beberapa patah kata lagi, tapi otaknya tiba-tiba macet. "Kayaknya kita nggak bakalan ketemu, soalnya tadi—"

"Mama tahu kamu bolos hari ini, Aletheia."

Ale menelan sisa kalimatnya utuh-utuh.

"Mama juga tahu soal tawuran kemarin."

"Ale nggak ikut—"

"Rasanya sia-sia Mama habisin setengah umur Mama buat besarin kamu. Kamu bikin Mama kecewa."

Lenyap sudah keberanian dari tenggorokan Ale. Gadis itu menelan ludah. Sesuatu membuat jemarinya terasa kebas. Kalimat Nada berdengung di sebuah sudut dalam kepalanya, menolak diam.

Ketika Nada akhirnya beranjak pergi, meninggalkan Ale dalam gelap sendiri, gadis itu merogoh saku, mengeluarkan ponsel yang membuatnya harus mengorbankan banyak hal hari ini.

Ale membuka galeri dan berhenti menggulir layar di sebuah foto. Tangannya bergerak menggulung lengan seragam sebelah kiri.

Ada lajur-lajur bekas luka yang sudah setengah kering di atas kulit Ale. Bekas yang berbanding terbalik dengan sayatan-sayatan basah dalam foto di ponselnya. Entah sudah berapa bulan lalu sejak Ale memotretnya.

Gadis itu memejamkan mata, membayangkan darah yang mengalir di foto, mengalir juga pada pergelangan tangannya. Membayangkan aroma amis di udara dan perih di permukaan kulitnya. Membayangkan sakit yang mampu mengalahkan sakit di dasar dadanya.

Rasanya sia-sia Mama habisin setengah umur Mama buat besarin kamu.

Ale terisak dalam diam.

Kamu bikin Mama kecewa.

Pergelangan tangannya tidak terluka sama sekali malam ini. Tapi setidaknya rasa sakit buatan itu sudah cukup menolong Ale menghadapi kata-kata Nada.

Tentu saja gadis itu akan mempertaruhkan apa pun untuk mendapatkan kembali ponselnya. Dia akan mempertaruhkan apa pun untuk mendapatkan kembali kontrol atas rasa sakitnya.

Ale akan memburu siapa pun yang berani mencuri rahasia kecilnya.

bersambung

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang