24 | Pecah

16.4K 1.6K 454
                                    

"Lo serius masukin semua duit Grandprix lo ke taruhan barbar ini?"

Gedung kosong tidak terawat itu lumayan tersembunyi dari jalan raya. Area luar yang diselingi rumput-rumput hijau kekuningan setinggi betis menutupinya dari pandangan penasaran karyawan kantor sekitar. Sabtu sore itu, dua orang laki-laki bertubuh besar bersandar di tembok kotor penuh grafiti pudar. Salah satunya punya bandana biru diikat kuat ke lengan kiri, yang lain warna merah di kanan. Saku belakang keduanya penuh oleh lembar uang tunai.

Tidak jauh dari sana, sedan putih berhenti.

"Seriously, Ra, mending lo ikut gue ke final KSATRIA. Illegal fight is so not your type of entertainment."

"Well, gue bosen nonton basket. And this fight seems fun because of Re."

"Kenapa sama Re?" Gadis di balik setir memutar mata. Rambutnya dikuncir dua oleh pita merah muda. Riasan berkilau tampak dari balik kelopak matanya. Seragam cheers Bina Indonesia melekat sempurna di tubuh langsingnya. "Re tuh, amatir. Gue denger, lawannya emang biasa fight. Ambil job di mana-mana."

Alis gadis yang duduk di bangku sebelah terangkat. Rambut cokelat panjangnya disisipkan ke belakang telinga. "Job apa?"

"You know." Lulu menarik napas. "Harusnya lo enggak taruh semua duit lo di Re."

"Re bakal menang. Trust me." Aurora mengedikkan bahu.

"Gimana lo bisa yakin?"

"Karena dia setuju buat ikut fight ini, Lu, what else? Re nggak bakal maju kalau dia nggak tahu dia pasti menang." Aurora menatap ke luar jendela. Beberapa orang berjalan masuk ke area bergantian agar tidak menarik kecurigaan. "Lagian, katanya lawannya cuma mau fight kalau ada sistem taruhan."

Lulu mengerutkan kening. "So?"

"So, he must be desperate for money." Aurora mendengus. "Gue rasa orang kayak gitu nggak bakal bisa fight pake kepala jernih. Re will get him done."

Lulu menggigit bibir. "Lo tahu Papa lo juga bakal habisin gue, kan? Kalo sampe dia tahu gue drop lo di tempat kayak—"

"Ugh, fine...!" decak Aurora sebal. "Lo berisik banget. I'll just watch it from the streaming, then."

"Puji Tuhan!" Lulu menghela napas super lega. "Kita ngebut, ya. Gue udah telat banget. Ini Thalia udah marah-marah di grup."

Sedan itu melaju tidak lama kemudian. Di belakangnya, sebuah motor berhenti.

"Bayarnya udah pake aplikasi ya, Pak!"

"Eh, Neng, helm-nya!"

"Oiya, Pak, maap!"

"Buru-buru amat, sih..."

Ojek online itu masih lanjut mengomel, tapi Ale sudah berlari lebih dulu. Kali ini memburu waktu.

***

"ABISIN! ABISIN! ABISIN!"

Gelanggang itu gempar. Teriakan gaduh dan gestur rusuh saling melingkup dari ujung ke ujung. Lantai dua gedung itu area kosong dengan pilar berlapis semen kelabu kusam. Mungkin pembangunannya sempat dihentikan karena tanahnya kena sangkut sengketa, dananya dikorupsi dewan daerah, lalu petugas hukumnya disogok demi kasusnya ditimbun. Mungkin saja. Ale tidak tahu. Yang dia tahu, dia bisa mati tergencet kalau tidak hati-hati di sini.

Gadis itu tidak menduga acara fight ilegal bisa jadi tontonan dengan huru-hara hampir selevel tawuran. Memangnya orang-orang tolol ini tidak takut diringkus polisi, apa? Tidak juga, kalau Ale mengingat dua orang yang tadi bertugas menjaga keamanan di depan.

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang