19 | Ungu

15.4K 2.6K 1.7K
                                    

Kata Bapak, Jakarta itu sesak. Kalau tidak berdiri, kamu bisa terinjak.

Bas mendengarnya waktu enam bulan lalu mereka dapat surat informasi penggusuran. Daerah pinggir rel kereta api mau dibangun jadi stasiun sentral. Kontrakan yang sudah dihuni sejak zaman muda mau diratakan. Mungkin itu juga sebabnya Bas diajak melukis spanduk-spanduk protes yang kini sudah menggantung dari atap.

Kata Bapak, Jakarta juga pencuri. Kalau tidak waspada, kamu bisa kehilangan segalanya, termasuk harga diri. Waktu itu Bapak kedatangan tamu dengan seragam rapi. Amplop cokelat tebal di atas meja teras menanti asal mereka mau pergi. Bas tanya, kenapa Bapak nggak mau, Bu? Toh bisa ngontrak di tempat lain pakai uang itu. Ibu cuma senyum. Buat Bapak, ada harga yang nggak bisa dibeli pakai uang, Bas.

Kalau Ibu, lebih suka bilang Jakarta itu bahaya. Kalau tidak hati-hati, kamu bisa luka. Sembari membetulkan dasi Bas yang miring, lalu menyendok nasi sesuai jatah setiap piring, persis sebelum menghitung sisa gaji Bapak dari proyek serabutan kemarin.

Yaelah, Bu, Bas mah nggak takut luka. Tiap hari kerjaannya berantem mulu.

Kemudian, Wulan akan mulai mengomel. Sembari menimang Ganis yang setengah menangis, mengocok botol susu formula, menjahit kaus kaki bayi— apa saja selain belajar untuk ujian masuk kampus. Membunuh mimpi sendiri sementara adiknya ketar-ketir tidak punya mimpi. Menyabotase masa depan cemerlang sementara keluarga mereka dihantam tagihan utang.

Tapi menurut Bas, Jakarta itu berantakan. Laki-laki itu tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Bahkan upaya cari uang yang dia pikir paling waras saja berujung pada perasaan tidak tahu diri yang sekarang harus mentah-mentah ditelan. Sialan.

Bas menendang kerikil terdekat membentur tiang. Area berpagar setinggi orang dewasa itu sarat warna merah muda dan biru norak. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, mengekspos karat. Permainan-permainan anak kecil berjajar, mulai dari ayunan sampai perosotan tua tidak terawat.

Setidaknya sepuluh tahun lalu, Taman Kanak-Kanak itu masih ramai. Bas masih suka memalak jatah gorengan dari bocah-bocah lugu yang kebetulan belum dijemput orang tuanya.

"Bas."

Puncak komedi. Bas benar-benar mendengar suara yang paling tidak ingin dia dengar saat ini. Laki-laki itu menoleh, menemukan alasannya duduk sendirian meratapi langit sore seperti remaja galau yang suka dia cemooh sendiri.

"Al?"

Rokok Bas dimatikan. Laki-laki itu bangkit dari tanah, menepuk-nepuk celana yang kotor. Ale masih memakai seragam elitnya. Rok gadis itu sedikit tersingkap waktu memanjat masuk pagar. Dia melompat turun persis di hadapan Bas dan tidak ada yang bisa menghentikan otak Bas dari memutar ulang memori beberapa hari lalu.

Ciuman impulsif-semi-tolol itu.

"Gue nyariin lo dari tadi." Ale berkata sambil lalu, berjongkok mengikat tali sepatu. "Ngapain lo di sini?"

Mikirin lo. "Nyebat aja. Kenapa nyariin gue?"

"Pelajaran kita belom selesai, kan?"

Bas ingin bilang percuma dia mengajar Ale kalau ujung-ujungnya hatinya juga yang dihajar. "Jangan hari ini, dah."

"Oke."

Respons itu datang terlalu cepat, seolah Ale memang tidak datang untuk pelajaran berkelahi.

"Lo yakin cuma dateng ke sini gara-gara itu?"

Yang ditanya menatap mata Bas ragu-ragu. Ale mengangkat bahu dan menurunkan ransel ke tanah. Kakinya berjalan mengitari Bas, menuju tangga perosotan yang bolong-bolong.

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang