21 | Bertarung/Bertaruh

10.3K 2.1K 519
                                    

Ada sesuatu yang familiar dari menonton Kenan bermain basket.

Ale jarang-jarang melakukannya, tapi gadis rambut hitam-merah itu masih ingat debar yang sama setiap kali dia duduk di pinggir lapangan, bersandar pada jaring-jaring besi yang membatasi area persegi panjang dekat perumahan. Kenan memang selalu terlihat fokus di segala keadaan, tapi laki-laki itu berbeda kalau sudah memegang bola di tangan. Ada level ketenangan yang lain. Ale selalu merasa detak jantungnya setidaknya naik satu ritme lebih cepat setiap kali menonton Kenan bermain.

Dribble. Dribble. Shoot.

Pola yang berulang, akurat, sempurna. Tujuh dari tujuh three-point masuk. Ale sedikit tidak mengerti apa yang membuat Kenan berlatih sekeras ini. Permainannya tanpa cela seperti biasa. Final Sabtu nanti harusnya mudah-mudah saja.

"Woi. Le, minum dong."

Ale mengerjap. Kenan melangkah menghampirinya, keringat bercucuran. Gadis itu melempar botol air mineral dekat kaki. Kenan menangkap dan menenggak separuhnya. Laki-laki itu beranjak duduk di sebelah Ale, mengatur napas yang masih naik turun.

"Santai dikit, lah," celetuk Ale. "Ntar lawan lo kena mental."

Kenan tidak tertawa, entah kenapa. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil dan mendengus. Belakangan, baru dia bertanya pelan.

"Lo dateng, kan?"

Ale mengangguk asal. "Kalo sempet."

"Lo udah janji."

Gadis itu menoleh. Kenan sedang menatapnya sungguh-sungguh. Seolah kedatangan Ale berarti hidup dan matinya.

"Iya, iya, elah. Gue dateng."

Kenan mengulurkan kelingking. "Jam tiga."

Ale mencebik. "Ken..."

Tapi jemari itu tidak diurungkan. Ale akhirnya menyambut dengan kelingkingnya sendiri meski ogah-ogahan. Kenan tersenyum puas dan bangkit. Memungut bola yang menggelinding ke seberang.

"Yuk, pulang."

Pulang.

Ale refleks berdiri, mengekor langkah Kenan. Mereka berdua berjalan beriringan menuju rumah, tapi pikiran Ale entah kenapa pecah.

Senja di perumahan warnanya oranye terang. Desau angin dan gesekan daun palem jadi satu-satunya yang menyela hening. Langit tidak ungu dan jalanan tidak berisik. Tidak ada bocah-bocah berlarian, dengung pengeras suara langgar, gemuruh roda kereta api menggilas rel, gemericik arus sungai, decit engsel palang tua, tangga perosotan berkarat— tidak ada apa-apa.

Segala hal kembali seperti semula. Seperti tiga bulan lalu. Hanya Ale, Kenan, dan Jakarta. Anehnya, seperti ada sesuatu yang salah.

Seperti ada bagian yang hilang.

***

"Jadi lo mau kuliah di mana?"

Ale terkesiap dari posisinya di meja belajar. Gadis itu membalik formulir dari BK yang dibagi siang tadi. Pendataan perguruan tinggi tujuan untuk pemetaan kelas 12 nanti.

Kenan berdiri di belakangnya, menatap penasaran. Entah sejak kapan. Keberadaan Kenan mirip keberadaan udara. Membiarkannya ada di sekitar sama mudahnya dengan bernapas.

Gadis yang ditanyai hanya mengedikkan bahu. Ale beranjak ke ranjang, membaringkan tubuhnya. Kedua lengan menumpu belakang kepala. Mata menatap lurus ke langit-langit. Belakangan ini pikiran Ale sering penuh, tapi tidak tahu penuh dengan apa. Tidak ada yang benar-benar harus gadis itu pikirkan. Jauh di dalam dadanya, rasanya lebih kosong. Seolah harusnya ada sesuatu yang dia rasakan.

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang