42 - Moodbreaker

4.6K 275 27
                                    

kalau udah masuk konflik kayak gini aku semangat bgt nulisnya, makanya up lagi padahal vote masih sedikit☺️

happy reading ❤️

•••

Viora merasakan usapan lembut pada pipinya ketika dia menunduk. Mendongakkan kepalanya, Viora dihadapkan dengan Razka yang menatapnya lekat namun dengan mata yang sayu. Kesadarannya mungkin tak sepenuhnya ada, namun dia peka terhadap Viora yang tak baik-baik saja. Ditatap seperti itu oleh Razka, air mata Viora keluar semakin deras.

“Sstt … Viora … jangan nangis!“ ujar Razka mengusap air mata yang terus menerus keluar tanpa bisa dicegah.

Bukannya berhenti, tangis Viora malah semakin pecah. Perempuan itu terisak yang membuat Razka menariknya ke dalam pelukannya. Pemuda itu menepuk-nepuk punggung Viora seraya menenangkan perempuan itu dengan racauan tak jelas. Beruntung, parkiran kafe itu tak ada orang. Tak ada yang memperhatikan mereka.

“Gue nggak akan biarin siapapun nyakitin lo, Viora,” bisiknya lagi.

“Pak Dipta jahat banget, Razka. Gue kesel! Sakit banget rasanya di sini,” adu Viora memukul dadanya dengan keras.

Razka menghentikan tindakan Viora. Diraihnya tangan Viora dan dia genggam erat setelahnya. Tatapan teduh dia berikan kepada sahabatnya itu.

Udara yang semakin dingin membuat Razka melepas jaketnya dan memakaikannya kepada Viora. Tindakan terlihat tulus, setulus perasaannya terhadap Viora yang sejatinya banyak memiliki kekurangan.

“Udah, ayo kita pulang, Viora. Jangan nangisin dia,” ajak Razka merangkul bahu Viora dan membawanya pergi dari sana. Walaupun dia tak bisa berjalan dengan benar karena pengaruh alkohol yang dia minum, namun akhirnya dia bisa tanpa menyusahkan Viora sampai ke taksi yang sudah menunggu keduanya.

•••

Viora tak ingin pulang ke rumah Dipta. Dia juga sudah menolak tawaran Mama Razka untuk menginap ketika dia mengantarkan sahabatnya itu tadi. Ke rumah Hani? Jarak tempuh terlalu jauh untuk ke sana. Selain itu, dia juga tak ingin Hani melihat keadaannya yang tengah kacau seperti ini. Viora tak memiliki tempat pulang selain rumah orang tua Dipta, mertuanya.

Akhirnya, tanpa memiliki pilihan lain, Viora pulang ke rumah mertuanya. Dia beralasan bahwa Dipta tengah pergi bersama Baron dan dia takut tidur di rumah sendiri setelah menonton film horor. Agak tak masuk akal memang, namun Mama mertuanya tak bertanya hal lain dan mempersilakannya untuk tidur di kamar Dipta.

Sesampainya di kamar sang suami, Viora langsung mengunci pintu dan naik ke atas ranjang. Dengan posisi tengkurap, Viora membenamkan wajahnya pada bantal dan menangis di sana.

Viora marah, hatinya sakit. Apakah dia tak berarti untuk Dipta? Selama ini, Dipta menganggapnya apa? Padahal, Viora sudah menjatuhkan seluruh hatinya untuk Dipta. Namun, kenapa Dipta terus menyakitinya?

Viora tak tahu harus bagaimana lagi. Dipta, satu-satunya orang yang dia percaya, sekali lagi menyakiti perasaannya. Haruskah dia kehilangan seseorang lagi? Apakah dia memang ditakdirkan sendiri?

Di saat seperti ini, kerinduannya terhadap keluarganya semakin membuat hatinya sakit. Viora sekali lagi merasakan kesepian. Rasa rindu yang terus menggerogoti relung hatinya yang kosong, perlahan mulai membunuhnya. Kerinduan itu, walaupun tak kasat mata, sangat terasa sakitnya. Viora tersiksa.

“Mama, Papa, Mak Mian … kangen,” isak Viora ketika membuka foto keluarga mereka di ponselnya.

Tangis perempuan itu semakin menjadi, bantal yang dia peluk pun sudah sangat basah. Wajah Viora memerah, dan matanya sembab. Dadanya sangat sakit dan rasanya dia ingin berteriak sekarang ini. Namun, itu tak mungkin. Ingin menangis sedikit keras saja, dia takut mertuanya mendengar itu.

My Little Wife Where stories live. Discover now