MY SAVAGE BOY -- 23

233 12 0
                                    

📖 Selamat Membaca 📖

Beberapa menit berganti, gadis dengan dress berwarna merah muda sedikit ke pastel tersebut mencuri pandang pada seorang pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya dengan sekretarisnya, Darin.

Ia tidak tahu jelas mereka membicarakan masalah apa. Tapi, ia yakin jika pembahasan itu masalah pekerjaan. Jika, dilihat dengan jeli, pria itu terlihat tampan ketika serius membaca dan bekerja.

Senyum tipis terbit dari bibir, Naura. "Ish, aku kenapa aku tersenyum? Huh!" rutuknya. Lantas tatapan matanya jatuh pada pria yang sedikit lebih tua dari Aksa. Pria itu tengah menjelaskan sesuatu pada Aksa.

Darin juga pria yang manis, kalem. Misinya masih sama, membuat pria itu bersedia membantunya pergi dari Aksa. Tapi, bagaimana caranya? Huh! Gadis itu bahkan tidak tahu harus dengan bagaimana.

Dugh

"Aaarghh!" Jeritnya, saat tidak sengaja lututnya terbentur meja di sofa. Untung tidak sampai luka yang mengeluarkan darah. Hanya terpentok dan itu cukup menyakitkan.

"Ada apa, Naura?" nada khawatir itu jelas dari Aksa. Pria itu lantas melipat satu kakinya menyentuh lantai. Tangannya menyentuh lutut gadis itu yang memperlihatkan warna biru kontras dengan kulitnya yang putih. Wajah gadis itu terlihat kesakitan.

Rasanya berdenyut nyeri. "Terpentok, meja."

"Aku panggilkan dokter, ya?"

"Kamu berlebihan sekali, ini bahkan tidak mengeluarkan darah. Hanya nyeri saja, nanti pasti akan sembuh." Sela Naura ketika Aksa bereaksi hendak menghubungi dokter. Netra hazel itu bertemu sapa dengan mata hitam yang tenang. Dia, Radit. Sekretaris itu berdiri dibelakang Aksa.

"Kak, Radit bisa tolong carikan es batu dan handuk kecil?" ucap Naura meminta tolong pada pria bersetelan jas biru.

"Baik, Nona." pria itu melenggang dari ruangan Aksa. Sedangkan pria bernama Aksa--- kini terdiam tak berkutik. Tangannya masih setia mengusap kecil lutut diluar lukanya. Tidak mungkin Ia bertanya dan mencegah Naura menatap Radit disaat seperti ini. Nanti akan terjadi keributan, bukan?

Aksa mendorong meja tersebut sampai mentok menyentuh sofa, memberikan jarak yang cukup untuk kaki Naura diluruskan.

"Kenapa, kamu diam saja?" Pertanyaan itu lolos dari bibir ranum Naura. Sontak, Aksa mendongakkan kepalanya, menatap mata yang selalu bisa membuatnya jatuh hati berkali-kali dan sedalam ini.

"Tidak, papa." Aksa hanya tidak mau salah bicara saja. Makanya pria itu memilih diam. 

***

Setelah mengompres lebam itu, kini Naura sudah duduk kalem di kursi kebesaran milik Aksa. Sedang pria itu menggunakan kursi lainnya.

Pria itu terlihat serius, pada pekerjaannya. Naura tengah menyantap redvelvet cake di hadapannya. Aksa tidak terganggu dengan kegiatan, Naura.

"Humm?" menyodorkan sesendok potongan cake didepan bibir pria itu. Mata tajam Aksa melirik cake tersebut dengan lamat.

"Aku ku--"

"Makan," potong Naura, dengan pelan Aksa membuka mulutnya dan mengunyah. Pria dewasa itu kurang suka, cake. Apapun itu jenis cake. Lebih tepatnya tidak suka yang manis berlebihan.

Mata indah itu berkedip berulang kali, memiringkan kepalanya sedikit kebawah untuk bisa melihat reaksi Aksa. Mata mereka bertemu, terdiam sejenak.

"Enakkan?" tanya Naura pelan. Aksa mengangguk melanjutkan acara mengunyah itu. Ketahuilah, ditatap Naura seperti ini membuat jantung pria itu berdetak tak karuan. Mati-matian menahan diri untuk tidak terlihat memalukan di depan Naura.

MY SAVAGE BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang