Bab 1: Omongan Tetangga

70 2 0
                                    

"Sayur! Sayur!" teriakan Mang Ujang penjual sayur di motor bebek itu membuatku segera menyelesaikan aktivitasku mencuci baju mas Aldi, suamiku. Hari ini aku harus segera membereskan semua pekerjaan rumah lebih awal karena Dinda, putriku yang berusia delapan belas bulan itu harus imunisasi di posyandu jam delapan pagi.

"Husna! Itu ada mang Ujang! Buruan!" titah Ibu padaku yang sedang membilas cucianku.

"Ibu bisa gak bantuin Husna buat belanja? Itu uangnya ada di atas meja makan, bu, tolong belikan,--"

"Enak saja kamu nyuruh ibu! Ibu ini orang tua! Gak pantes kamu suruh-suruh!" jawab Ibu padaku. Seketika itu pula aku langsung terdiam. Aku merasa bersalah dan tak enak hati karena meminta tolong padanya.

"Bu, bisa tolong cucikan sepatuku?" tanya Dion, kakakku.

"Sini, bisa," jawab ibu pada Dion. Aku hanya diam memandang kak Dion dan ibu dengan hati nelangsa padahal pemandangan seperti ini sudah biasa bagiku. Disisihkan, dibedakan dan tak dianggap, hal itu merupakan hal yang sudah menemaniku selama dua puluh tiga tahun ini.

Ibu dengan senyum yang mengembang di wajahnya menerima sepatu kak Dion yang kotor dan bau lalu diletakkannya di sudut kamar mandi dekat aku mencuci baju. Bau sepatu itu membuatku segera mengucek baju seragam mas Aldi dengan kilat.

Aku hanya minta tolong ibu untuk beli sayuran dan lauk di mang Ujang, uangnya pun sudah aku sediakan, tapi ibu menolak dan mengomeliku, beda dengan kak Dion yang menyuruh ibu membersihkan sepatunya, padahal kak Dion bisa membersihkannya sendiri karena ia hanya berdiam diri di rumah saja sepanjang hari, atau bisa juga kak Marni yang membersihkan sepatunya itu, dia kan istrinya.

Tapi, sudahlah, aku tak mau ikut berkomentar lagi, sudah cukup bagiku sering dimarahi dan dianggap ikut campur urusan kakak-kakakku. Mereka bahkan tak segan-segan untuk menceramahiku dengan mengatakan kalau aku harusnya sudah tak numpang tinggal di rumah ibu setelah menikah, seharusnya aku bisa mandiri.

Bukannya aku tak mau pergi dari rumah ini, tapi ibu yang selalu menahanku untuk tinggal di rumah ini dengan alasan ibu sendirian.

Memang sih ibu sendirian di rumah ini, kak Dion dan kak Marni sudah punya rumah sendiri dan itu persis di sebelah rumah yang aku tinggali. Sedangkan kak Desi dan kak Roni ada di depan rumahku. Semua tanah dan rumah itu dari almarhum bapak, katanya kakak-kakakku boleh tinggal di rumah itu dengan catatan aku yang memiliki rumah utama. Entah kenapa bapak terkesan memberikan banyak hak khusus padaku, dan semua kakak-kakakku tak ada yang protes, mereka patuh, bahkan setelah bapak meninggal sekalipun. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan kejadian-kejadian sebelumnya, hal-hal kecil yang terjadi sebelum bapak membagi warisannya.

Misal, ketika aku mengajukan keinginan untuk pergi berlibur selepas lulus SMA, kak Desi dan kak Dion akan menolak dengan alasan bahwa mereka takut aku kenapa-napa di kota orang. Padahal aku tahu sekali kalau mereka berdua hanya iri padaku. Mereka lulus sekolah tak pernah berlibur karena uang tabungan untuk berlibur telah dihabiskan terlebih dahulu, beda denganku yang memang sengaja menabungnya rutin sesuai perintah dan saran Bapak.

"Husna! Malah melamun! Kamu itu denger ibu gak sih? Tuh, mang Ujang udah diserbu tetangga, dapat sayuran sisa baru tahu rasa!" kata Ibu keras. Sejak Bapak meninggal, entah kenapa sifat ibu berubah kasar dan sering marah-marah padaku.

"Iya, bu, ini tinggal satu yang perlu dibilas," jawabku.

"Kamu tuh kerjanya memang lambat! Ibu heran juga kenapa si Aldi itu masih mau mertahanin kamu!" kata Ibu.

Astagfirullah ... 

"Husna! Dinda bangun!" teriak Mas Aldi dari dalam rumah. Aku segera meletakkan baju seragam mas Aldi yang terakhir di dalam bak sebelum mengangkatnya ke jemuran depan. Aku bergegas berlari ke kamar setelah mendengar suara teriakan dan tangisan Husna yang cukup kencang.

"Ke mana aja, sih!" seru Mas Aldi sewot. Aku hanya menghela napas berat sembari mencoba menenangkan Dinda yang menangis karena tak menemukanku di sampingnya. Kulihat mas Aldi sedang bermain game di ponselnya dengan raut wajah bahagia. Ingin rasanya aku marah padanya, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena ada ibu di rumah. Aku tak ingin mendengarkan omelan dan ocehan ibu lagi. Hal itu bisa membuat moodku berantakan sepanjang hari,  imbasnya aku akan mudah marah ke Dinda jika gadis itu melakukan kesalahan saat bermain.

Aku mengajak Dinda ke mang Ujang untuk beli sayuran dan lauk pauk. Di sana tanpa sengaja aku bertemu dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya yang juga sedang memilah-milih sayuran yang tersedia.

"Eh, mbak Husan, tumben gak terdepan?" tanya bu Lusi yang sekaligus adalah bu RT.

"Tadi lagi cuci bajunya mas Aldi, bu," jawabku seraya memilih sayuran mana yang akan aku masak hari ini.

"Bu Salma ke mana, mbak?" tanya bu Rani.

"Ada, bu, di dalam," jawabku.

"Kalau suami?" tanyanya lagi. Aku heran dengan pertanyaannya tersebut. Untuk apa ia menanyakan suamiku juga?

"Ada, bu, di dalam," kataku menjawab pelan.

"Ohhh, gak papa ninggalin suami di dalam rumah sendirian, ya, mbak?" tanya bu Hani.

"Memangnya kenapa, bu?" tanyaku heran. Gak bu Rani,  gak bu Hani, mereka berdua sama-sama aneh saja dengan pertanyaan mereka.

"Ya gak papa sih, cuma kadang nieh ya,  kalau berdua-duaan di rumah dan non mukhrim itu yang ketiganya setan," kata Bu Hani.

Astagfirullah ...

"Maksud bu Hani, apa, ya?" tanyaku tak mengerti. "Di rumahku kebetukan lagi gak ada tamu menginap, di rumah hanya ada ibu dan mas Aldi yang siap-siap mau kerja," kataku menjelaskan.

"Ohh begitu," kata Bu Hani. Orang-orang di sini sering menyebut bu Hani aneh karena ucapannya yang gak jelas, semula aku abai saja karena memang aku gak pernah kumpul-kumpul tetangga tapi sekarang aku sadar kalau apa yang orang-orang katakan itu benar. Bu Hani orang yang cukup aneh bagiku dengan pertanyaan tadi.

"Bu, ibu, dulu katanya tuh tetangga baru kita yang ada di ujung sana cerai dari suaminya karena suaminya itu kepergok ciuman sama ibunya sendiri," kata bu Rani. Tanganku yang memilih sayuran seketika berhenti memilih dan mendongak ke bu Rani.

"Pelakor rumah tangga anaknya itu ibunya sendiri?" tanya bu Lusi memperjelas.

"Iya, makanya dia minggat dari rumah orang tuanya dan sekarang sedang ngurus perceraian,"

"Kok bisa ya gitu itu?" tanya bu Lusi heran.

"Yah bisa toh, ibunya masih muda dan suaminya cakep, ibunya juga kaya raya, anaknya kalah telak, suami anaknya lebih milih ibunya, " jawab bu Hani yang langsung membuatku teringat pertanyaannya tadi.

Aku mengambil sayur sop dan ayam segera lalu berlalu pergi dari mang Ujang setelah membayar belanjaku. Sampai di rumah, aku melihat ibu dan mas Aldi duduk bersama di ruang tengah. Wajah ibu terlihat bersemu merah dan nampak senyum-senyum dengan ekspresi malu-malu sedangkan mas Aldi fokus nonton infotainment, hal yang paling mas Aldi benci. Aneh sekali.

Perempuan Yang Menyulam LukaWhere stories live. Discover now