Bab 4: Mengorek Informasi

11 1 0
                                    

Sementara Bu Susi tengah mempersiapkan pesanan bebek goreng untukku, aku mencoba mendekati Faisal dan mengorek informasi yang ada pada anak lelaki itu. Demi mendapatkan informasi yang kuinginkan darinya, aku mengambil satu buah kerupuk, lalu membukanya dan memakannya tepat di depan Faisal dan Dinda. Sengaja aku terlihat menikmati kerupuk yang kubuka dengan cukup mengeraskan suara saat mengunyahnya. 


Berhasil! Bocah lelaki itu mulai ingin makan juga. Terbukti karena ia menatapku terus menerus. 


"Bulek, boleh minta?" tanya Faisal memelas dengan tangan yang terngadah ke arahku. Dinda yang bingung dan tak pernah makan kerupuk itu hanya diam sembari sesekali mengalihkan pandangannya dariku ke arah Faisal. Begitu terus sembari menoleh ke kanan dan kiri. 


Aku mengambil satu kerupuk dan memberikannya ke Faisal, tapi sebelum ia menerimanya aku menarik tanganku, "Bulek boleh tanya? Tapi Faisal harus jujur, ya," kataku padanya dan ia mengangguk. Aku memberikan kerupuk itu padanya dan ia menerimanya dengan senyuman. 


"Apa, bulek?" tanya Faisal.


"Emang Om Aldi sering belikan nenek bebek goreng?" tanyaku. 


"Hampir setiap hari, bulek. Kadang beli dua kadang beli tiga," jawab Faisal jujur dengan mulut yang mengunyah kerupuk. Mendengar jawaban dari Faisal itu, hatiku sedikit sakit. Bagaimana tidak sakit jika aku dan Dinda saja selama ini hampir tak pernah makan bebek goreng sedangkan mas Aldi ternyata sering membelikannya pada ibuku. 


"Beli dua atau tiga?" tanyaku pada Faisal lagi. Ia mengangguk dan meminta jatah kerupuk lagi padaku, aku memberinya dan ia menerimanya dengan sangat senang sekali. 


"Iya, kan kadang ayah sama aku juga ikut makan, kalau mama gak mau karena takut gendut," jawab Faisal padaku. 


"Apa Faisal gak bosan dengan makan bebek hampir setiap hari?" tanyaku dan ia menggeleng lemah. 


"Kan Faisal bilang hampir, bulek. Kadang paklek itu belinya gak hanya bebek goreng, tapi kadang juga martabak manis, kadang gorengan, kadang roti gulung, kadang buah-buahan juga. Pokoknya sesuai request dari nenek," kata Faisal. Apa yang baru saja diucapkan oleh Faisal itu benar-benar membuatku syok bukan main. Bagaimana mungkin itu mas Aldi lakukan sementara ia tak pernah membelikanku dan Dinda makanan-makanan seperti itu. Aku iri, aku benar-benar iri dengan perlakuan mas Aldi kepada ibuku. 


"Seneng ya neng Husna dapat suami yang sayang sama mertua kayak gitu. Saya? Boro-boro menantu belikan makanan, dia udah ngebahagiain anak saya aja, saya sudah alhamdulillah banget," kata bu Susi. Ah, andai bu Susi tahu bahwa apa yang terjadi tak seperti yang ia katakan. Aku dan Dinda bahkan makan seadanya, kami lebih sering makan dengan kuah sayur dan lauk tempe. Aku bahkan harus memutar otakku demi menyisihkan uang jajan untuk tabungan dan jajan Dinda. 


"Iya, bu, alhamdulillah," aku mengatakannya dengan dada yang sesak sekali. Kulihat Dinda juga sepertinya menginginkan kerupuk yang Faisal makan. Aku memberinya sepotong, semoga saja ia tak merengek meminta lagi karena aku harus lebih berhemat sekarang ini. Aku akan mewujudkan mimpiku untuk membuka warung kecil-kecilan. Aku hanya berharap warung itu akan membuatku dan Dinda berkecukupan. 


Bu Susi memberikan bebek goreng pesananku dan aku membayarnya, total yang harus kubayarkan adalah empat puluh dua ribu dengan kerupuk. Satu bebek goreng seharga dua puluh ribu rupiah tanpa nasi dan ukurannya lumayan besar. Sebenarnya jika mbak Marni sering menitipkan Faisal untuk kujaga, aku senang meski lelah. Dinda akan ikut makan jajan yang Faisal makan, juga makan makanan bergizi seperti ini. 


Uang seratus ribu yang kudapat dari jatah menjaga Faisal itu aku simpan di tempat yang tak bisa Ibu atau mas Aldi temukan. Untuk jajan Faisal, sengaja aku belikan jajan yang seribuan empat macam karena aku juga memberikan Dinda yang sama. Agar perut Faisal kenyang sampai mbak Marni pulang, kuberi ia nasi dalam porsi yang banyak sebagai pendamping makan bebek goreng. Ia sampai bersendawa dan menolak jajan yang kusodorkan. Bagus. Jadi nanti sore jajan baru akan ia makan, dan semoga mbak Marni segera pulang.


Tuhan sangat baik rupanya padaku. Selesai makan dan kenyang, Faisal mengantuk dan tertidur di kamarku. Aku hanya menepuk-nepuk pantatnya lembut sebelum akhirnya ia terlelap. Dinda juga mengantuk setelah kenyang kusuapi makan bebek dengan kuah sayur tadi pagi. Sisa bebek goreng Dinda menjadi makan siangku yang nikmat. Kubayangkan itu dibelikan mas Aldi dan aku beruntung serta berterima kasih padanya. Menjadi istri yang dicintai oleh suaminya adalah idaman semua wanita. Tak terasa air mataku meleleh, nyatanya aku tak sekuat pemikiranku. Rasa cemburu karena mas Aldi lebih loyal kepada ibuku membuatku iri bukan main. Seharusnya aku senang, mungkin itu salah satu caranya memenangkan hati ibuku, mengingat dulu pernikahan kami tak mulus, ibu sempat tak merestui kami. Tapi setelah tiga belas bulan pernikahanku dan mas Aldi, sifat ibu berubah ke mas Aldi. 


Aku membereskan rumah sementara Faisal dan Dinda sudah terlelap pulas. Beruntung mbak Marni datang tepat ketika Faisal bangun dan merengek memanggil namanya. Mbak Marni langsung menggendong Faisal dalam pelukannya dan menatapku yang kelelahan setelah membereskan rumah. Tadi Faisal dan Dinda bermain sembari melemparkan mainan kemana-mana. 


"Kamu sudah makan, Hus?" tanya mbak Marni padaku dan aku mengangguk padanya. "Ohh, kirain belum. Mau kukasih kambing guling," lanjutnya yang membuat mataku berbinar mendengarnya. 


"Mau donk, mbak," kataku dan ia tersenyum cantik. 


"Ambil satu kotak di kantong keresek itu, satunya aku akan bawa pulang," katanya yang membuatku langsung antusias mengambil kotak makanan dalam kantong keresek yang dibawanya. Entah apa pekerjaan mbak Marni, ia selalu keluar rumah dan pulang sorenya. Ia tetap cantik, meski terkadang jutek. 


"Makasih banyak, mbak," kataku senang. 


"Kamu tuh jadi perempuan harus bisa mandiri dan berdikari, Hus. Karena kalau gak suami akan menghina dan mengejek. Kamu tahu sendiri kan kalau mas Dion sekarang berubah gak kayak dulu sebelum mbak pake daster terus," kata mbak Marni dan entah kenapa saat mendengarnya, hatiku terasa semakin sesak sekali. Ia benar, mungkin aku sudah tak menarik lagi di depan mas Aldi. Karenanya, aku akan berubah.


"Mbak Marni pasti pakai cream kecantikan, bukan?" tanyaku dan ia menganggu. "Berapa harga satu paketnya, mbak?" tanyaku lagi.


"Murah aja, cuma empat ratus ribuan untuk wajah dan kalau untuk badan kira-kira lima ratus ribu, itu udah dapat minum collagen paling murah," katanya lagi. Aku menelan ludah mendengarnya mengatakan hal tersebut. Rasa-rasanya untuk saat ini tak mungkin. "Kamu minta saja ke Aldi, dia kan gajinya empat juta. Jadi penasaran, berapa sih yang dikasihkan Aldi ke kamu? Aku kok lihat dia suka beli jajan untuk ibu," kata mbak Marni lagi. 


Nah, benar sudah kalau ibu dapat jatah jajan dari mas Aldi. Kenapa ke aku tidak? Aku akan tanyakan nanti. Kapan perlu aku akan mergoki sendiri nanti sore. Kayaknya lebih seru mergoki sendiri.

Perempuan Yang Menyulam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang