Bab 6: Ketahuan

27 3 0
                                    

Aku tak sabar menunggu sore datang dan mas Aldi pulang. Berulang kali aku mengecek jam di dinding dan mengamatinya baik-baik, tentu saja seraya berdoa kuat-kuat agar apa yang aku mau dikabulkan. Aku gak minta apa-apa sejak menikah dengannya selain pernikahanku dengannya langgeng dan Dinda jadi anak yang membanggakan kami, semua rasa sakit dan lelah itu telah kuabaikan selama ini. Dan hari ini aku berharap semua kecurigaanku sirna. Aku masih menggenggam mimpi bahwa aku dan keluarga kecilku kelak akan bahagia.


"Kamu ngapain lihat jam terus?" tanya Ibu yang sudah terlihat sangat cantik dan modis. Bahkan tubuhnya sangat wangi.


"Ibu mau ke mana?" alih-alih menjawab pertanyaannya, aku melontarkan pertanyaan kepadanya. Ia bingung dan kesal mendengar pertanyaanku barusan. 


"Biasa, ke rumah mbak Marni. Kamu sih gak masak enak, jadi ibu terus minta makan dari mbakmu itu!" keluhnya padaku. Ya, ibu memang selalu seperti ini. Membuatku bersalah dan tersudut. Jika aku tak tahu bahwa mas Aldi sering diam-diam membelikannya makanan, maka aku akan diam saja di rumah dan benar-benar mengira kalau ia keluar dari rumah untuk makan di rumah mas Dion atau mbak Marni. Tapi, tidak hari ini. Aku akan memergoki sendiri kelakukan mas Aldi dan ibuku. 


Kulihat ibu sudah memasuki rumah mbak Marni dan entah apa yang terjadi pada diriku, tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang dan tanganku gemetar. Berulang kali kuucapkan istighfar agar aku bisa lebih tenang. Mungkin Dinda merasa aku gelisah, jadi ia mendekat ke arahku dan memelukku. Ah, Putriku, semoga saja pikiran ibu salah. 


Tepat jam lima, aku mendengarkan suara motor dan benar dugaanku itu adalah suara motor mas Aldi. Dulu aku gak pernah mempermasalahkan kenapa ia lebih dulu sering pulang ke rumah mas Dion, karena jawabannya satu, dia mencari mas Dion untuk memberinya informasi kerjaan dan sedikit melepas penat dengan nongkrong, tapi tidak kali ini. Aku tak akan menelan mentah-mentah semua alasan ibu dan mas Aldi. 


Kulirik mainan Faisal yang memang tadi sengaja aku ambil dari rumahnya untuk sekarang aku pakai alasan mengembalikannya ke rumahnya. Aku menggendong Dinda dan berjalan menuju rumah mbak Marni. Tanpa salam, aku lantas membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci dan aku langsung disuguhi pemandangan mas Aldi membuka bungkus makanan untuk ibu. Dia duduk tepat di sebelah Ibu. Ia dan Ibu sama-sama tercengang melihat ke arahku. 


"Husna?" panggil mas Aldi dengan wajahnya yang pucat. Aku memergokinya sendiri. Tas punggungnya terbuka dan di sana terlihat masih ada beberapa nasi bungkus yang belum keluar. Wajah ibu juga terlihat pias saat melihatku. 


"Faisal, ini tante kembalikan mainan kamu, nak," kataku kepada Faisal yang duduk juga di ruang tamu dan menyaksikan bagaimana mas Aldi membukakan makanan bungkus untuk ibuku.


"Terima kasih, tante," katanya seraya menerima mainannya dari tanganku ,"Wah nasi bakar, ya, om! Jatahku juga ada kayak biasanya, kan,  om? Gak cuma nenek doank, kan?" tanya Faisal. Aku senang sekali mendengar Faisal mengatakan hal itu. Wajah mas Aldi semakin pucat dan aku bersorak senang dalam hati melihatnya yang kebingungan. 


"Kamu beli nasi bakar, mas?" tanyaku padanya berusaha biasa saja. 


"Iya, kamu mau?" tanyanya padaku. 


"Mau lah, mas," jawabku padanya. Ia memberikan nasi bakar yang ada di tangannya padaku, tak jadi ia berikan pada ibuku. Bisa kulihat wajah ibu yang masam melihat hal itu. Dan ini semakin membuatku yakin bahwa dugaan burukku tentang mereka berdua itu benar adanya. Awas saja mereka!


Mbak Marni datang ke ruang tamu seraya membawa kambing guling dan nasi. 


"Husna, kamu kalau sore ke sini saja. Suami kamu itu baik banget sama ibu, dia selalu bawain makanan," kata mbak Marni serta merta yang langsung membuat mas Aldi dan Ibu tersedak makanan mereka dan terbatuk-batuk kemudian. Aku tersenyum sembunyi-sembunyi seraya berpura-pura mengunyah makanan. 


"Sering, mbak?" tanyaku kaget dan menatap ke arahnya yang memberikan minuman ke Ibu agar batuk ibu reda, sedangkan mas Aldi? Masa bodoh dengan batuknya itu. 


"Iya, kan? Bukankah Aldi selalu bawa nasi bungkus sisanya yang di tas itu ke rumah? Buat kamu dan Dinda," katanya lagi. Aku menoleh ke arah mas Aldi yang wajahnya semakin pucat karena ucapan mbak Marni barusan. 


"Oh, iya. Husna lupa. Saking seringnya sampai lupa. Besok-besok, Husna akan sering ke rumah mbak Marni kalau sore. Biar kita bisa makan ramai-ramai kayak gini," kataku padanya. Mbak Marni hanya tersenyum. 


"Kamu mau beli skincare punyaku, Hus? Murah aja cuma empat ratus ribu. Dengan gaji Aldi yang naik jadi delapan juta, kamu pasti udah pegang uang banyak," katanya lagi. Kali ini aku semakin terkejut mendengarnya. Kutoleh mas Aldi yang kini tengah tegang menatapku. 


"Sayangnya, mas Aldi itu ngasih Husna ...."


"Berapa mbak? Sini aku bayar kontan saja," kata Mas Aldi yang tiba-tiba saja memotong kalimatku. Baiklah, rupanya ia gengsi. Kulihat beberapa lembar uang merah di dompetnya dan cukup tebal. 


"Mas!" kupanggil mas Aldi setelah membayar skincare ke mbak Marni untukku. Ia menoleh. 


"Aku butuh baju baru, katamu tadi pagi mau ambilkan aku uang. Itu di dompetmu uangku, kan?" tanyaku. Mbak Marni menyerahkan kotak skincare padaku. "Aku dah terlanjur kepincut baju yang diposting bu Nara, mas," kataku seraya menengadahkan tanganku setelah meletakkan skincare di sampingku duduk.


"Berapa harga bajunya?" tanyanya lemas. 


"Murah aja. Kamu kan janji tadi narik dua juta buatku, katamu aku juga harus punya modal jualan. Siniin uangnya," lagi aku menekannnya di depan mas Dion dan mbak Marni. Mas Aldi menoleh ke ibu ragu-ragu. Ibu menatapku dan melotot, tapi aku tak peduli.  Akhirnya mas  meraih semua uangnya yang ada di dompetnya itu dan menghitungnya lalu memberikannya padaku. Wajahnya terlihat sangat terpaksa dan ia terlihat tak berdaya. Tinggal selembar uang merah miliknya yang ia masukkan kembali ke dalam dompet. Aku tersenyum senang.


"Kamu mau jualan?" tanya Mbak Marni dan aku mengangguk. 


"Iya mbak, meski gaji mas Aldi besar kan aku gak boleh berpangku tangan sama dia. Bagaimana jika kelak ia hanya bisa memberiku uang satu juta saja?" kataku seraya meliriknya tajam. "Terus lagi ini juga kurang banyak, mbak. Aku harus ngumpulin uang sampai paling gak lima belas juta lah. Karena aku gak bisa pegang uang dan gak punya tabungan, aku mau titip ke mbak Marni aja. Besok aku mau buka rekening," kataku seraya menyerahkan uang dari mas Aldi itu ke mbak Marni. Aku ragu jika aku pulang membawa uang itu, mas Aldi pasti akan memintanya lagi seperti yang sudah pernah ia lakukan dulu.


Saat mbak Marni menerimanya, kulihat wajah mas Aldi merah padam padaku. Biasanya aku akan takut saat melihat wajahnya itu, tapi kali ini aku tak takut sama sekali. Biar saja kalau ia mau marah. Aku sudah tak peduli lagi.

Perempuan Yang Menyulam LukaWhere stories live. Discover now