Bab 5: Siasat

15 1 0
                                    

Aku sangat senang sekali hari ini. Sebelum pergi bekerja aku bisa memijat dan membelai tubuh ibunya Husna. Mungkin aku seperti orang gila, tak beradab atau apalah, tapi yang jelas aku benar-benar tergila-gila pada perempuan berumur itu. Selisih umur kami dua puluh tahun, dan dia luar biasa masih menarik. Memang sih ada kerutan di wajah dan lehernya, selebihnya kulitnya masih kencang. Kudengar ia minum air putih tiga liter sehari. Dia tak makan makanan berminyak dan hanya makan sayur-sayuran saja. Dia menikah muda, dan tentu saja usianya masih terbilang muda untuk ibu yang memiliki tiga orang anak dan semuanya sudah berkeluarga. 


Husna sendiri masih berusia dua puluh tiga tahun. Kakaknya yang paling tua berusia dua puluh enam tahun dan yang kedua berusia dua puluh empat tahun. Sedangkan ibunya baru berusia empat puluh lima tahun. Ibunya sangat cantik dan modis seperti artis Korea. Dan aku sangat terpesona saat pertama kali bertemu dengannya. Dengan khidmat aku mencium tangannya yang lembut,  putih dan kencang.   Ia tak suka padaku, menurutnya aku miskin dan tak menarik. Selama tiga belas bulan pernikahanku dengan Husna ia masih cuek dan suka berkata pedas, tapi karenanya aku berubah. 


Aku mulai merawat penampilan dan gayaku seperti artis Korea kesukaannya. Tak hanya itu, kupuji kecantikan dan tubuhnya diam-diam. Terkadang aku berbisik di telinganya dan bisa kulihat wajahnya bersemu merah ketika kubisikkan pujian itu. 


Hari demi hari di tahun awal pernikahanku dan Husna, aku tak bernafsu melihatnya, apalagi ketika ia hamil dan tubuhnya melebar ke sana ke mari. Kulihat betisnya membesar, begitu pula dengan lengannya. Apalagi ia tak pernah lagi merawat diri. Aku sangat sebal melihatnya. Kulitnya menghitam dan aku tak berselera sama sekali. Ia sangat berubah dan berbeda dari pertama kali bertemu dulu. Pernah aku menegur penampilannya dan ia malah menyalahkanku soal uang yang kukasih. 


"Gaji mas Aldi kan empat juta, sedangkan aku hanya diberi dua juta. Mana cukup buat keperluan rumah dan beli skincare sekaligus? Lagi pula kita bakalan punya bayi, mas, jadi aku harus menabung dikit-dikit, kan?" katanya waktu itu. Jujur saja aku kesal sekali mendengarnya mengatakan hal itu. 


"Dua juta itu banyak, Husna!" teriakku dan ia kaget. Jujur memang itu adalah kali pertama aku meneriakinya dan aku tak merasa bersalah sama sekali. Kulihat matanya berembun, tanda ia akan menangis. Tapi aku tak peduli dan berlalu keluar kamar. Sialnya aku lupa mengambil uang yang kuberi padanya. Seharusnya kuberi saja ia satu juta, dan sisanya bisa kuberikan pada ibunya. Aku untung dua kali, kan? 


Husna membuatku semakin kesal. Ketika aku pulang ke rumah dan melihatnya menangis dengan wajah memerah itu aku bertanya ia kenapa dan ia mengatakan kalau ia memakai cream wajah palsu hingga kulitnya memerah dan tumbuh jerawat. Aku benar-benar jijik melihatnya. Ia memohon padaku agar aku membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa oleh dokter kulit. Dan terpaksa aku kembali merogoh uangku untuk itu. Sudah tidak cantik ditambah uangku semakin tipis. Apes sekali. 


"Masak kamu gak bisa bedakan itu cream asli atau palsu, sih!" kataku setelah kami pulang dari rumah sakit. 


"Maaf, mas, aku tergiur dengan harganya yang murah. Cuma seratus lima puluh ribu," katanya. Aku menarik napas panjang.


"Terus sisa uangnya mana?" tanyaku.


"Uang apa, mas?"


"Ya uang yang aku kasihkan ke kamu!  Kamu ini gimana sih? Itu uangku dan kamu seharusnya cuma pake sejuta aja. Sini kembalikan delapan ratus lima puluh ribunya!" sentakku padanya. Ia benar-benar kaget kala mendengar suaraku membentaknya sekali lagi. 


"Tinggal seratus mas, aku belikan kereta bayi dan perlengkapan bayi kita," katanya. Aku menyugar rambut dengan kasar. Ingin marah sekali padanya. Jika tak ingat ia sedang hamil, mungkin aku benar-benar akan memarahinya. 


"Mulai bulan depan aku hanya akan memberimu uang satu juta!" kataku padanya. Aku tak peduli lagi sudahan. Kutatap wajahnya yang memerah karena tangis dengan pandangan tak percaya padaku. Ia terlihat sangat heran dengan keputusanku barusan. Tapi, siapa yang peduli? Aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai suami dengan menafkahinya. Lalu aku juga memintanya membeli produk kecantikan agar memikat hatiku kembali, tapi kenapa ia tak mendengarkanku? Malah membeli cream yang murah dan membuat wajahnya rusak. Kesal sekali aku. 


"Ta-tapi, mas," aku mengangkat tanganku, tanda bahwa aku sama sekali tak menerima bantahan apapun darinya. Ia terlihat tak berdaya. Hanya saja, siapa yang peduli? Aku sudah berbaik hati padanya. Jadi, jangan pernah salahkan aku jika aku bertindak jauh seperti itu. 


Aku keluar rumah. Rasanya sangat muak. Ketika hendak membuka pintu pagar, pintu pagar sudah terbuka lebih dulu dan tubuhku menabrak tubuh ibunya Husna yang masih segar itu. Sontak hal itu membuat aku kaget dan salah tingkah kemudian. Aku bingung dan merasa tak enak karena ia menatapku tak suka. Aku merasa sungkan. 


Tiba-tiba ponselnya berdering dan bisa kulihat sekilas kalau 'Ayang' menelepon. Aku berpikir keras siapa yang meneleponnya itu, karena ayah mertua telah mati. Ia menjauh dariku dan berjalan ke belakang. Aku masih berjalan keluar rumah agar tak membuatnya curiga. Ketika ia sudah tak mengamatiku lagi, aku bergegas mencuri dengar perbincangannya dan hal itu membuatku kaget. 


'Jangan di rumah, aku gak ngerti lagi harus bagaimana meminta Husna yang sedang hamil keluar dari rumah. Iya, aku merindukanmu dan merindukan,--' aku sedikit kaget mendengarnya. Sontak hal itu juga membuatku langsung panas dingin. Ada yang tiba-tiba terasa sesak di bawah sana, apalagi aku mendengar suara desahan itu lolos dari mulut ibu mertuaku. Aku mulai merasa gerah. Rupanya ia mendesah lewat telepon, hanya saja ia tak membuka bajunya hanya meraba-raba tubuhnya yang masih singset itu. Kulihat terus aktivitasnya lewat lubang pintu gudang ini. Tak tahan, aku akhirnya pergi dan menemui Husna. Untuk pertama kalinya selama dia hamil, aku meminta hakku sebagai suami. Dan agar ia tak curiga, aku memberinya uang. Ia langsung senang. Dasar perempuan. 


Sementara itu aku mencari tahu apa yang disukai ibu mertuaku demi mendapatkan perhatiannya. Aku sungguh-sungguh penasaran. Tak mungkin aku jajan di luar karena takut ketahuan. Aku terkenal orang yang sayang pada keluarga, menjaga nama baik keluargaku yang cukup terpandang dan aku adalah karyawan baik. Tak mungkin aku mencoreng semuanya dengan ketahuan main belakang atau jajan diluar. Lagipula aku masih butuh warisan ayahku yang memiliki tanah lima hektar. Dan ayahku sudah wanti-wanti kalau ia hanya akan memberikan harta warisannya kepada anaknya yang baik, berbakti dan menjaga nama baik keluarga.


Jika aku selingkuh dengan ibu mertuaku, bukankah itu tak akan menimbulkan curiga pada orang lain? Aku hanya akan di cap sebagai menantu yang sayang pada mertua dan Husna akan dipuji-puji karena bersuami diriku. Sungguh beruntungnya aku.

Perempuan Yang Menyulam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang