Bab 7: Ternyata

24 5 0
                                    

Aku tak juga pulang ketika Ibu dan Mas Aldi pulang. Aku memang sengaja menghindari mas Aldi karena takut kalau-kalau ia nantinya akan marah besar dan Dinda masih terjaga lalu melihat kami bertengkar. Tidak! Aku tidak mau hal itu terjadi! Sebisa mungkin aku akan menjaga mental Dinda agar tak melihat bagaimana sikap ayahnya padaku. Aku tak sanggup melihat Dinda terluka. Ia akan takut pada ayahnya jika ayahnya terus menerus berteriak di depanku. 


Sayangnya, Faisal dan Dinda sepertinya masih belum mau tidur meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kulihat mas Dion dan mbak Marni menguap lali mengajak Faisal masuk ke kamar untuk tidur, tapi ia menolak dan dengan Dinda asyik bermain. Mbak Marni menatapku jengah, tapi kali ini aku pura-pura buta dan asyik nonton dangdut di televisi. 


"Ya sudah kalau gitu mama tidur dulu!" ucap mbak Marni kemudian seraya masuk ke dalam kamarnya. Karena merasa tak enak, aku memanggil Dinda dan mengajaknya pulang. Ia berontak dan tak mau. Ia kesal kala aku mencoba untuk menggendongnya dan menjauhkannya dari Faisal. Jika sudah marah begitu, itu tandanya ia mengantuk. Aku meminta Faisal menyusul Ibunya masuk ke dalam kamar untuk tidur. Ia menurutiku dengan terpaksa. 


Aku lantas menggendong Dinda dan berjalan keluar rumah setelah pamit, tapi ternyata mas Dion sudah tidur di depan televisi. Dadaku berdebar-debar saat melangkahkan kaki keluar rumah mbak Murni dan mas Dion. Kulihat rumah Mbak Desi dan Kak Roni lampunya juga sudah padam.


“Ibu, Dinda ngantuk,” kata Dinda yang merengek di pelukanku. Beruntung aku membawa selendang, jadi ketika Dinda merengek dan mengantuk, aku lantas menggendongnya dengan selendang dan menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya. Sampai Dinda benar-benar telah terlelap, aku baru berani melangkahkan kaki pulang ke rumah. Aku sengaja masuk lewat pintu samping rumah yang langsung terhubung ke ruang keluarga. Kulihat tak ada mas Aldi dan televisi menyala, ibupun tak ada. Semua lampu di rumah ini kelihatannya masih menyala. Kutengok ke kanan dan ruang tamu masih terlihat terang benderang, menengok ke kiri yang langsung menuju dapur, lampu dapur pun masih menyala.


Apa ibu dan mas Aldi sudah tidur dan lupa mematikan lampunya?


Aku bergegas naik ke lantai dua rumahku dan lampu-lampu sebagian telah padam saat aku hampir sampai di anak tangga terakhir. Karena kasihan kepada Dinda, aku berniat menaruhnya dulu di kamar dan tak peduli jika nanti mas Aldi akan marah padaku. Aku akan menerima kemarahannya dan aku siap melawannya.


“Cklek,” kubuka pintu kamarku dengan dada yang bertalu-talu bagai gendang yang berlabuh. Gelap. Mas Aldi memang tidak bisa tidur dalam keadaan terang, begitupun aku dan Dinda. Saat kunyalakan saklar lampu dengan dada yang masih berdebar karena ketakutan itu, aku kaget karena mas Aldi tidak berada di dalam kamar. Lalu kemana ia pergi malam-malam begini? Aku bingung.


Aku meletakkan Dinda dengan sangat hati-hati agar ia tak terbangun dari tidurnya. Lalu setelah berhasil meletakkan Dinda, aku bergegas menuju keluar kamar untuk mencari mas Aldi. Aku ke ruang tamu berniat memadamkan lampu ruang tamu dan ternyata pos kamling di depan rumah sudah ada beberapa bapak-bapak yang sedang bersiap-siap ronda. Mungkinkah jadwal mas Aldi ronda malam ini? Jika iya, aku akan sangat senang karena ia tak akan pulang sampai jam tiga pagi dan tak akan mengusikku. Aku mematikan lampu ruang tamu dan dengan langkah kaki yang ringan aku menuju dapur. Saat melewati kamar ibu, aku berjalan pelan-pelan di depan pintu kamarnya yang tertutup, agar ia tak bangun. Ibuku tak pernah tidur lewat jam Sembilan malam, karena ia tak mau keriput di wajahnya semakin terlihat. 

Perempuan Yang Menyulam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang