Bab 3: Bebek Goreng

15 1 0
                                    


Setelah kepergian mas Aldi untuk bekerja, aku lantas mengambil piring, lalu menuangkan kuah sop dan mengambil satu ceker ayam yang sudah kugoreng. Aku mengajak Dinda makan diluar dengan menggendongnya.

"Kamu itu bukannya jemur pakaian dulu, malah makan!" gerutu ibu padaku. Aku tak ingin membantah, bukan karena takut, tapi karena lebih memilih tak mau berdebat lebih panjang dengan ibuku.

Ibu keluar dari kamar, beliau tampak sangat cantik dengan dress rumah berwarna merah. Dress itu nampak sederhana tapi bukan daster karena ibu anti pakai daster, katanya itu hanya akan merusak penampilannya saja. Setelah itu ia ke dapur untuk meracik masker herbal yang tetap membuat kulit wajahnya glowing dan kencang.

"Kenapa lihat-lihat!" serunya tak suka. "Ngiri, ya? Makanya muka kucel kamu tuh dirawat bukannya dibiarkan kusam gitu! Kalau Aldi udah berpaling baru tahu rasa kamu!" kata ibu padaku.

"Gimana Husna bisa ngerawat wajah, gaji mas Aldi yang dikasihkan ke Husna aja cuma sejuta!" seruku kesal. Aku tak ingin dihina terus-terusan.

"Satu juta itu udah besar! Kamu kan gak ngontrak! Coba kalo ngontrak?" kata ibu berkilah meski ia tadi sempat kaget dengan perkataanku barusan.

"Satu juta kalau dibagi satu bulan cuma tiga puluh tiga ribu, bu," jawab Husna. Tak ada tanggapan dari ibuku bukan karena tak mau menjawab tapi karena masker herbal itu sudah ia lumurkan ke wajahnya.

"Husna! Husna!" teriakan mbak Marni sontak membuatku urung memasukkan sendok berisi makanan yang ditolak Dinda ke mulutku. Istri mas Roni itu datang dengan anaknya bernama Faisal yang memandang Dinda sebal, "titip Faisal, ya, aku kasih lima puluh ribu," kata mbak Marni dengan lembut dan senyum yang penuh arti. Mbak Marni mengulurkan uang lima puluh ribu ke arahku, aku menatapnya dengan gamang. Aku memang suka uang, tapi pekerjaan menjaga Faisal itu sangat melelahkan.

"Emang mbak mau ke mana?" tanyaku padanya.

"Ada reuni sekolah," jawabnya.

"Pulang sore, ya?" tanyaku selidik. Perempuan itu nampak membuang muka, lalu ia merogoh dompet di dalam tas mewahnya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu lagi.

"Cukup? Seratus ribu loh!" katanya padaku dengan memberikan dua lembar uang biru itu kepadaku.

"Uang makannya Faisal?" tanyaku padanya lagi. Ia sempat mendelik, tapi buru-buru aku menjawab, "mbak Marni kan tahu sendiri di dapurku hanya ada makanan apa, Dan juga paham betul makanan apa yang harus dimakan Faisal berikut dengan jajanannya," kataku menjelaskan. Lagi, ia mengeluarkan uang di dompetnya dan memberiku uang lima puluh ribu.

"Cukup, kan?" tanyanya dan aku mengangguk. Mbak Marni lantas menarik tubuh Faisal yang masih bergelayut manja di dadanya tersebut dan mendudukkannya di sofa.

"Tapi, Faisal maunya ikut sama mami," rengek anak usia tiga tahun itu. Mbak Marni menggeleng kuat.

"Sama bulek dan main sama Dinda," kata mbak Marni tegas. Faisal masih merengek, tapi aku punya jurus jitu menenangkannya.

"Faisal mau main pancing ikan?" tanyaku. Faisal menoleh dan menatapku dengan mata berbinarnya. Meski di rumah Faisal tak terhitung banyaknya jumlah mainan, tapi tetap saja ia suka memancing ikan di kolam belakang rumah yang memang sudah kusulap menjadi kolam ikan sederhana.

"Boleh, bulek?" tanyanya dan aku mengangguk seraya tersenyum. Aku selalu mengijinkan Faisal untuk main, tapi tak jarang juga memintanya berhenti main kala seluruh bajunya sudah basah akibat nyemplung kolam ikan.

Mbak Marni mengangguk-anggukkan kepalanya penuh arti padaku saat aku berhasil mengalihkan pandangan Faisal dari mbak Marni yang akan pergi. Sebenarnya aku risih diberi uang begini oleh mbak Marni untuk menjaga anaknya, tapi aku butuh uang sendiri. Cita-citaku jualan harus terlaksana karena aku tak bisa mengandalkan mas Aldi terus menerus. Aku capek dibilang benalu baginya. Aku lelah karena ia terus saja mengungkit-ungkit apa yang ia berikan padaku.

"Tapi, kan, itu sudah kewajiban kamu sebagai kepala rumah tangga, mas!" kataku waktu itu kepadanya dan ia menatapku jengah sekali. Dulu ia tak pernah menatapku seperti itu, dulu ia selalu menatapku dengan penuh cinta.

"Aku tahu! Tapi kamu juga harus tahu diri donk! Kamu kira uang sejuta itu turun dari langit? Kamu aja hanya ngasih makan aku ayam seminggu tiga kali!" serunya kesal.

"Kamu pikir uang segitu cukup buat berumah tangga? Bagi dulu donk mas uang itu sebanyak tiga puluh atau tiga puluh satu hari. Uang itu setara dengan uang bensin kamu!" kataku kesal.

"Ngomong sama kamu capek! Udah tiap hari di rumah, masih aja alasan kurang dan kurang!" serunya kesal. Aku menghela napas besar. Ingin rasanya aku membantah semua tuduhannya kalau aku ini boros. Uang satu juta mana cukup buat sebulan, belum buat beli diapers, bayar listrik, bayar air, bayar iuran sampah, bayar iuran kematian, beli beras, air galon, kopi, susu, gula, minyak, deterjen, pewangi, sabun mandi, dan belanja hari-harian.

Aku sebenarnya ingin sekali tahu kemana sisa uang gaji mas Aldi yang empat juta itu. Kulihat suamiku juga tak pernah keluar rumah untuk sekedar nongkrong dengan Teman-temannya, ia bahkan lebih sering aktif di kampung seperti ronda dan kumpul-kumpul kalau ada hajatan. Jika satu juta dikasihkan ke aku, satu juta yang lain untuk ongkos jalan yang kuyakini masih sisa banyak, ke mana dua juta yang lainnya?

Apa mas Aldi punya WIL? Wanit idaman lain?

Tapi siapa wanita itu?

"Bulek, baju Faisal basah!" seru Faisal padaku. Semua lamunanku seketika buyar dan beralih pada Faisal yang menatapku dengan mimik takut.

"Kita ke rumah Faisal ambil bajunya Faisal, yuk," ajakku padanya dan ia mengangguk pelan.

"Bulek, aku lapar," kata Faisal.

"Di rumah tadi mama masak apa nggak?" tanyaku lagi dan ia menggelengkan kepalanya, "setelah ganti baju nanti, kita ke warung bu Susi, ya," ajakku dan ia mengangguk dengan senyum di wajahnya.

Sampai di rumah mbak Murni dan mas Dion, pandangan mataku dikejutkan oleh rumah mereka yang seperti kapal pecah, di mana-mana barang dan mainan tergeletak sembarangan. Bahkan aku melihat celana dalam dan bra mbak Murni di lantai. Tak ada sosok mas Dion, padahal aku yakin dia sedang bermalas-malasan saja di rumah. Dan benar dugaanku, kulihat ia sedang berebah di di kamarnya sembari main game online.

"Kalau Faisal nanti sudah besar, jangan kayak ayah, ya!" kataku pada Faisal dan ia mengangguk asal.

"Bulek, ayo cari makan," ajaknya setelah aku mengganti pakaiannya yang basah dengan kering. Aku mengangguk dan kami kemudian ke warung mbak susi yang terletak di perempatan sana, sekitar seratus meter saja dari sini.

Sampai di warung mbak Susi, aku melihat perempuan muda yang asing di kampungku sedang memesan nasi bungkus dua dengan lauk terpisah, wajahnya ayu tapi ia hanya bisa menundukkan wajahnya saja. Seolah-olah ia malu sekali. Setelah selesai bayar makanannya, dia gegas keluar warung tanpa babibu.

"Neng Husna, mau makan apa neng?" tanya bu Susi.

"Faisal mau makan bebek goreng,"

"Dinda juga,"

"Dua bebek goreng tanpa nasi, bu," kataku pada bu Susi yang mengangguk tanda mengerti.

"Satu keluarga suka bebek goreng, ya?" tanya bu Susi bersemangat. Aku hanya tersenyum, "pantas kalau pulang kerja Aldi selalu beli bebek goreng, katanya buat orang rumah," kata bu Susi.

Deg.

Masak sih mas Aldi sering beli bebek goreng kalau pulang kerja? Tapi kenapa aku gak pernah lihat dia makan?

"Iya, aku sering lihat mbah putri makan bebek goreng dari om Aldi," kata Faisal yang polos.

Apa maksudnya mas Aldi sering belikan bebek goreng buat ibu? Kenapa aku tidak tahu? Di mana ibu memakannya?

Perempuan Yang Menyulam LukaWhere stories live. Discover now