39. Si Kepala Batu

9.1K 809 28
                                    

Belinda Rahmawan POV

Oh my God....
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku masih bisa berdiri di tempat ini tanpa pingsan apalagi jantungan. Kelakuan anak tunggalku benar-benar membuatku kecewa, gagal dan tentunya seakan duniaku baru saja runtuh. Sejak dulu aku sudah berupaya mendidiknya agar tetap di jalan yang lurus terlebih ketika ia memutuskan untuk terjun di dunia hiburan. Sayangnya aku telah gagal kali ini. Apalagi ketika mendengar pengakuannya yang telah menghamili seorang wanita.

Aku tidak tahu bagaimana reaksi Alfred jika mengetahui kelakuan putranya ini. Kami berdua selalu berupaya memberikan Bara nafkah yang halal sejak ia masih berada di dalam kandungan, tetapi bagaimana bisa dia menjadi seperti ini? Pergaulan? Oh, mungkin ini juga penyebabnya. Namun aku tidak tahu jika Bara sampai ceroboh seperti ini dengan tidak menggunakan pengaman saat berhubungan badan dengan seorang perempuan.

Dengan kekuatan kepemilikan saham beberapa persen dari group rumah sakit ini, aku mencoba untuk menggunakannya kali ini. Aku terpaksa memastikan sendiri sebelum bertemu dengan wanita itu. Apakah benar yang ada di dalam rahimnya adalah calon cucuku? Jika iya, maka aku tidak akan melepaskannya. Aku tidak akan membiarkan cucuku hidup tanpa kehadiran sosok ayahnya di dalam hidupnya. Lebih dari itu semua, mungkin ini bisa menjadi titik balik kehidupan Bara yang amburadul selama beberapa tahun ini.

Bagi Alfred mungkin kehidupan Bara bukan sesuatu yang menakutkan karena ia termasuk orang yang lama tinggal di beberapa negara barat sebelum menikah denganku. Tapi ini berbeda denganku yang dilahirkan dan besar dengan didikan ala timur. Bagiku hamil diluar nikah tetap sesuatu yang tabu dan bisa mencoreng nama baik keluarga. Apalagi mitos-mitos yang sering aku dengar bahwa itu bisa menurun. 

"Ma, tolong jangan keras ke Mikha seperti Mama keras ke aku," perkataan Bara membuatku menolehkan kepala untuk menatapnya yang kini sedang berdiri di sampingku.

"Kenapa memangnya?"

"Mikha itu si kepala batu. Susah dikasih tahu. Apalagi menerima masukan dari orang lain."

Aku tersenyum kecil ketika mendengar kekhawatiran Bara ini. Lebih dari 26 tahun menjadi ibunya, baru sekali ini aku mendengar anakku mengkhawatirkan wanita diluar keluarganya. Tidak hanya itu saja, bahkan Bara terlihat sangat ingin melindungi perempuan yang aku tahu bernama Mikhaila Ameera Violetta itu dari cengkramanku.

"Kita lihat, lebih pintar dan cerdik dia atau Mama. Siapa tahu kita ini lawan yang seimbang."

Bara memilih diam karena mungkin dirinya menyadari jika aku bukanlah ibu biasa yang akan dengan mudah mengalah dalam setiap argumentasi jika aku merasa aku benar serta alasanku kuat.

Setelah mengatakan itu, kami sama-sama terdiam hingga akhirnya kami hampir tiba di dekat kamar Mikha. Aku terpaksa menghentikan langkahku karena Bara justru memilih duduk di kursi depan meja jaga perawat.

"Ngapain kamu malah duduk di situ?"

"Mama aja deh yang masuk. Aku enggak mau buat Mikha kaget."

Aku menggeram ketika menyadari betapa menyebalkannya Bara kali ini. Tidak biasanya ia seperti ini.

"Ya sudah, kamu tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana. Urusan kamu sama Mama belum selesai."

Bara mengacungkan jempol tangannya tanda ia setuju dengan permintaanku. Kini aku segera melanjutkan perjalanan hingga aku tiba di depan pintu kamar Mikha. Saat sampai di sana, aku ketuk pintu kamarnya. Saat ia mempersilahkan aku masuk, aku langsung menatap wajahnya lekat-lekat dari tempatku berdiri saat ini.

Okay, dari apa yang bisa aku tangkap dengan kedua mataku, gadis ini cukup cantik dan berkarakter. Tidak hanya berkarakter, tetapi memiliki sifat liar yang sulit untuk dideteksi kapan dia akan menyerang. Entahlah, sepertinya kali ini Bara telah salah menjatuhkan pilihannya. Karena sekali ia tertangkap pada wanita bertipe seperti ini, maka bukan wanita ini yang akan takut kehilangan dirinya, tapi justru sebaliknya. Wanita seperti ini tidak akan takut hidup tanpa pendamping. Sekali Bara berbuat salah, Mikha pasti akan menendang Bara dari dalam hidupnya tanpa banyak berpikir panjang.

Benar juga dugaanku bahwa ini tidak akan mudah. Mikha menolak untuk menikah dengan Bara. Tapi jangan panggil aku Belinda Rahmawan jika aku akan kalah begitu saja padanya. Bagaimanapun juga, cucuku harus lahir di dalam lingkungan keluarga kandungannya. Tentu saja aku tidak yakin bahwa Mikha akan sanggup membesarkan anaknya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Bukan hanya soal materi saja, tetapi mental. Memiliki anak bukan perkara yang mudah apalagi bagi ibu baru tanpa kehadiran suami dan keluarga. Berbagai kisah para ibu baru yang mengalami baby blues membuatku semakin tidak bisa membiarkan Mikha mengambil keputusan bodoh ini.

"Saya tetap tidak ingin menikah dengan Bara. Saya tidak mencintai Bara sama sekali."

"Kamu kira menikah itu hanya bermodal cinta? Tidak, Mikha. Menikah tidak hanya cukup bermodal cinta saja."

"Kalo maksud Tante adalah perihal materi. Saya masih sanggup menghidupi anak saya tanpa bantuan finansial dari Bara."

"Saya tahu kamu juga mampu secara finansial. Jika tidak, mana mungkin kamu di rawat di ruangan ini?"

Aku melihat Mikha memilih diam, tapi aku tahu dia sedang memikirkan kapan dirinya akan bisa menyanggah diriku lagi. Aku tidak akan keberatan memberikan ilmu kehidupan yang mungkin belum pernah ia ketahui sebelumnya tentang pernikahan.

Kini aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil menatap Mikha lekat-lekat. Aku berharap tatapanku bisa mengintimidasinya. Sayangnya sepertinya aku mendapatkan calon menantu yang sifatnya sesulit diriku. Hingga tatapan mautku pun tidak membuatnya takut apalagi bergetar.

"Kamu tahu Mikha, Tuhan memang terkadang tidak memberikan apa yang kita mau, tetapi Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Kamu memang tidak mau Bara, tapi kamu membutuhkan Bara sebagai partner dalam hidup kamu di masa depan. Menjadi orangtua tunggal itu tidak mudah."

"Saya tidak mau kehidupan pribadi saya terekspose apalagi menjadi konsumsi publik. Bara juga bukan tipe laki-laki yang saya inginkan untuk menjadi pendamping hidup."

"Kalo itu alasan kamu, Tante bisa mengaturnya. Kamu tidak akan pernah terekspose dimuka publik. Tapi kamu tahu resikonya apa? Kamu harus menahan perasaan cemburu kamu setiap kali Bara digosipkan dengan perempuan lain di luar sana. Tidak perlu perasaan cinta yang menggebu-gebu, cukup rasa sayang, percaya dan saling terbuka diantara kalian berdua. Itu lebih bisa menjaga hubungan pernikahan lebih lama daripada hanya cinta yang menggebu-gebu sesaat lalu padam karena kalian kehabisan bahan bakar untuk membuatnya selalu berkobar."

"Maaf, Tante tapi Bara bukanlah laki-laki yang diharapkan oleh kedua orangtua saya sebagai pendamping hidup saya. Saya harap  Tante akan mundur mulai sekarang. Papa dan Mama sudah memiliki calon suami untuk saya jauh sebelum semua ini terjadi."

Deg'

Informasi macam apa lagi ini? Tidak-tidak, aku harus segera bertemu orangtua Mikha tetapi aku tidak mungkin meminta alamat orangtua Mikha dari Mikha langsung. Apalagi Bara mengatakan jika Mikha rela diusir dari rumah karena mempertahankan kandungannya.

"Sebelum tangan calon suami kamu menjabat tangan Papamu di depan penghulu, maka masih ada kesempatan bagi Bara untuk menikahi kamu, Mikha. Sekarang Tante permisi dulu."

Aku memilih segera melangkahkan kakiku keluar dari ruang perawatan Mikha. Aku harus segera menyusun rencana untuk bertemu orangtua Mikha dan segera menikahkan Bara dengan Mikha. Agar semua rencana ini berjalan dengan baik, maka aku harus memiliki alasan yang kuat terlebih dahulu hingga Mikha tidak akan bisa menolak Bara lagi. Iya, tugasku kali ini adalah mencari titik kelemahan Mikha.

***

Bara di hati Mikha (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang