52. Dia kenapa sih?

7K 662 21
                                    

Mikhaila Ameera Violetta POV

Aku tidak tahu apa tujuan dan maksud Bara membawa teman band-nya untuk berkenalan denganku. Toh aku ini bukan siapa-siapanya yang harus mengetahui serta mengenal semua orang yang ada di sekitarnya. Lebih lucunya lagi, dia yang mengenalkan aku kepada Kafka, tapi kini dia sok cemberut dan memberikan tatapan marahnya kepadaku. Memangnya dia kira aku bakalan takut atau merasa bersalah karena kejadian tadi? Ya enggak lah, mimpi aja sampai lebaran semut rangrang juga aku tidak akan mengemis maaf kepada Bara apalagi jika itu bukan sebuah kesalahan yang aku perbuat. Toh yang membawa Kafka ke sini 'kan dia sendiri, bukan aku.

"Kamu kenapa beda banget waktu memperlakukan aku sama Kafka?"

Akhirnya setelah dua jam Bara topo bisu, kini ia membuka mulutnya lagi. Benarkan dugaanku sejak tadi. Dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentang aku dan Kafka. Memang sih ya, insting wanita di mana-mana terlalu kuat dan tajam apalagi terhadap pria yang sedang dekat dengannya. Karena itu aku selalu mempercayai instingku ini terlebih jika menyangkut seorang Bara Nareswara.

"Beda gimana maksud kamu? Aku biasa aja memperlakukan Kafka. Layaknya orang yang baru saja berkenalan."

"Layaknya orang yang baru saja berkenalan?" Kata Bara membeo lalu ia tersenyum sinis di sampingku. Sungguh, rasanya aku ingin mementung kepalanya ini dengan martil hingga berdarah-darah. Dia kira kelakuannya ini membuat aku akan suka kepadanya apalagi bersimpati hingga jatuh hati? Jawabannya tentu saja BIG NO, yang ada aku makin ilfeel dengan sikapnya yang sudah mirip siang dan malam. Terlalu kontras perbedaannya.

"Iya," jawabku singkat. Sungguh aku sudah mulai malas berdebat dengan Bara. Yang aku butuhkan saat ini adalah sebuah ketenangan. Apalagi kami saat ini sedang berada di rumah sakit yang seharusnya menjaga ketenangan dan tidak berisik.

"Kamu kenal sama aku pertama kali dulu enggak gitu. Boro-boro kamu bakalan kasih senyum yang ramah dan salam hangat. Kamu aja langsung ngira aku ini Mas Rio."

"Oh, waktu itu mata aku lagi rabun gara-gara kebanyakan minum. Padahal memiripkan Mas Rio sama kamu aja jatuhnya masih terlalu bagus."

"Terus aku mirip siapa?"

"Mirip Dugong di Ancol." Setelah mengatakan itu, aku memilih berdiri dari posisi dudukku dan aku berjalan mendekati tempat Eyang Kakung kini sedang tidur dalam posisi duduk.

Pelan-pelan aku membangunkan Eyang Kakung. Aku tahu, selama aku melakukan hal ini mata Bara tidak henti-hentinya mengikuti setiap gerak gerikku tapi aku memilih diam saja. Malas juga aku jika harus meneruskan obrolan gila dengannya ini yang pasti akan berujung pada perselisihan.

"Yang, Eyang bangun," kataku mencoba membangunkan Eyang pelan-pelan.

Beberapa saat kemudian Eyang Kakung bangun dan ia kembali menegakkan tubuhnya.

"Ya, Mik? Gimana keadaan Yuni?"

Aku tersenyum kepada Eyang Kakung. Sungguh, jika aku tidak tahu semua kenyataan ini satu tahun lalu, mungkin aku akan berpikir Eyangku adalah sosok laki-laki idaman yang begitu mencintai istrinya. Sayangnya, kini aku tahu tidak ada rumah tangga yang sempurna termasuk rumah tangga Eyang Kakung dan Eyang Putri. Rumah tangga mereka tetap diwarnai gejolak hingga mengakibatkan Eyang Putri sakit hati.

Eyang Kakung yang terlihat begitu takut kehilangan Eyang Putri dulunya pernah berselingkuh dengan salah satu karyawannya yang bernama Wulandari hingga ia hamil. Tidak hanya hamil saja, Wulandari bahkan sampai melahirkan anak hasil perselingkuhan mereka berdua. Eyang Kakung yang sudah memiliki dua anak laki-laki tentunya tidak akan membuang anak hasil perselingkuhannya itu begitu saja. Apalagi anak itu berjenis kelamin perempuan. Sudah lama ia berharap memiliki anak perempuan, tapi Eyang Putri belum mampu memberikannya.

Bara di hati Mikha (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang