50. Ternyata tak seburuk bayangan

5.9K 650 5
                                    

Mikhaila Ameera Violetta POV

Sudah dua hari Eyang Putri ada di dalam kamar ICU. Selama dua hari juga ada sosok yang berdiri di sebelahku tanpa pernah meninggalkan aku sendirian selain untuk ke kamar mandi dan makan. Dia juga yang selalu menyiapkan segala kebutuhanku mulai dari makan, minum hingga vitamin yang harus aku konsumsi setiap hari.

Keluargaku memang ikut menjaga Eyang Putri secara bergantian, namun hanya aku dan Bara yang 24 jam berada di rumah sakit ini. Berkali-kali aku memintanya pulang, karena aku tahu dia memiliki pekerjaan juga. Sayangnya Bara selalu menolak apa yang aku usulkan kepadanya ini.

"Mik, makan dulu."

Mendengar suaranya, aku menolehkan kepalaku. Kini di sampingku, Bara sudah membuka kotak Tupperware berwarna hijau dan terlihat di dalam kotak itu makanan sehat dan bergizi komplit. Ada sayur bening dengan lauk ayam goreng, tempe, nasi dan tentunya potongan buah pepaya. Di samping kotak itu juga aku melihat ada botol berisi sari kacang hijau. Sumpah, karena Bara selama dua hari ini selalu memberikan aku sari kacang hijau, lama-lama aku eneg dibuatnya.

"Nanti aja, Bar. Aku belum lapar."

"Iya, kamu enggak lapar tapi baby di dalam enggak boleh kelaparan."

Membawa-bawa alasan tentang calon anak kami yang ada di dalam rahimku membuatku selalu saja kalah. Aku tahu jika aku bisa egois pada siapapun, karena memang itu salah satu sifat burukku tetapi tidak pada calon anakku. Aku tidak pernah bisa egois terhadapnya. Aku ingin dia menjadi cahaya di hidupku. Aku ingin dia menjadi anak yang lebih baik daripada aku apalagi Bara. Aku juga berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan membiarkan dirinya diasuh orang lain walau itu keluarga, apalagi diasuh oleh baby sitter.

Kini mau tidak mau aku ambil makanan yang disiapkan Bara ini. Entah siapa yang membuatkan masakan untuknya, setiap pagi, siang dan sore, Bara selalu pamit untuk ke lobby dan mengambil makanan untuk kami. Baru aku sadari juga jika Bara bukan laki-laki yang rewel untuk soal makanan. Karena menu yang ia makan juga sama denganku. Aku tahu, dia bisa saja makan makanan di restoran rumah sakit yang ada di bawah, tapi dirinya memilih makan dengan menu yang sama denganku. Jika aku lihat dari sudut manapun ini adalah menu makanan sehat rumahan. Bukan menu-menu makanan hits jaman now yang biasa digandrungi anak-anak muda jaman sekarang.

Aku memilih makan dalam diam. Aku jarang berkomunikasi dengan Bara jika tidak penting-penting amat walau dia ada di dekatku. Tentu saja ini untuk menjaga stabilitas hubungan kami berdua. Jangan sampai aku emosi hingga menendangnya jauh-jauh dari depan kamar perawatan Eyang ini. Sepertinya dirinya juga menyadari hal itu, karena itu ia jarang sekali memancing emosiku selama kami berada di sini.

Saat selesai makan pun Bara yang akan merapikan semuanya dan membawanya pergi entah ke mana. Pernah terlintas di dalam kepalaku untuk mengikutinya dan penasaran dengan siapa yang mengirimkan bahkan mau mengambil peralatan kosong ini tapi aku mengurungkannya.

"Mik?"

"Hmm?"

"Aku ada jadwal ngisi acara ulang tahun stasiun TV swasta. Kalo kamu aku tinggal malam ini gimana?"

"Ya enggak pa-pa. Memangnya aku pernah ngelarang?"

"Ya enggak sih. Cuma setidaknya selama aku pergi kamu baik-baik ya. Kalo capek sewa hotel di sebelah rumah sakit ini aja."

Aku menganggukkan kepala dan kini Bara segera berdiri dan pamit kepadaku. Setelah Bara pergi, tidak sampai satu jam kemudian Eyang Kakung datang. Aku langsung tersenyum bahagia karena akhirnya aku tidak sendirian di tempat ini. Hari ini Eyang Kakung juga membawakan jahe panas untukku. Kata Eyang kakung ini semua untuk meminimalisir rasa mual yang sering aku rasakan pada trimester pertama ini. Hmm, aku beruntung memiliki Eyang Kakung dan eyang Putri yang sayang kepadaku seperti aku ini anak bungsu mereka.

Setelah aku menghabiskan setengah gelas wedang jahe ini, Eyang Kakung mulai duduk di sebelahku. Ya, layaknya cucu pertama yang biasanya paling disayang oleh kakeknya, hubunganku dengan Eyang Kakung cukup hangat. Obrolan diantara kami pun bahkan sangat nyambung. Dengan Eyang Kakung, rasanya aku menemukan figur seorang ayah yang jarang aku dapatkan dari Papaku sendiri.

Obrolan awal kami terdengar biasa saja, layaknya obrolan kakek dengan cucu perempuannya, tapi semua berubah saat Eyang mulai bertanya tentang status hubunganku dengan Bara.

"Kania sudah punya pacar, terus kamu kapan mau nikah sama Bara?"

Aku diam. Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap Bara. Sama sekali tidak ada. Aku tidak memiliki bayangan akan menikah dengannya, berbagi hidup dengannya apalagi berekspektasi tentang bagaimana hubungan kami kedepannya. Sesuatu yang aneh. Asli, aku tidak mau berharap banyak kepada seorang Bara Nareswara yang terkenal sering gonta ganti wanita seperti ganti underwear. Lebih aneh lagi keluargaku seakan justru merestui tindakan Bara yang berniat menikahiku. Bukankah seharusnya mereka melarang Bara? Apalagi track record Bara benar-benar tidak ada bagus-bagusnya. Keluargaku juga datang dari kalangan pebisnis, bukan artis. Jadi sosok Bara benar-benar bukan tipikal pria idaman untuk dijadikan menantu apalagi cucu menantu. Bisa-bisa Bara tidak akan nyambung ketika Eyang, Papa dan Om Chandra membicarakan tentang pergerakan IHSG, gejolak ekonomi saat ini bahkan isu-isu terhangat di dunia bisnis. Duh, duh, duh... Poor Bara karena sudah masuk ke dalam kolam yang salah.

"Kapan ya, Eyang? Kania dulu kayanya. Aku juga enggak tahu tu mau nikah sama Bara apa enggak? Soalnya Bara bukan laki-laki yang aku harapkan untuk menjadi suami."

"Apa kamu masih mengharapkan Rio?"

Oh my God....

Sudah payah aku ini melupakan Mas Rio hingga aku sudah tidak pernah memikirkan dirinya lagi saat ini. Dan dengan entengnya Eyang Kakung mengingatkan aku pada sosok Mas Rio yang kini sudah menjadi suami Tante Retno. Hmm, hancur sudah move on sebulan dalam waktu satu menit.

"Enggak. Aku udah enggak pernah mikirin dia lagi sejak aku hamil."

"Hmm, kamu sekarang jadi mikirin bapaknya si utun, ya?"

Boro-boro sibuk mikirin si Bara, yang ada aku sibuk mempertahankan kandunganku. Aku sibuk merangkai masa depanku. Merencanakan bagaimana aku akan membangun hidupku lagi ketika aku sudah memiliki anak. Tentu saja, aku tidak membuat rencana dengan menambahkan Bara di dalam rencana hidupku dan anakku kelak. Pure aku ingin menjadi sosok perempuan yang mandiri dan tergantung pada laki-laki.

"Enggak. Ngapain mikirin dia? Bikin kaya juga enggak, apalagi bikin hati jadi tenang dan damai."

"Tapi wajahnya ganteng setidaknya bisa bikin adem," kata Eyang Kakung dan setelah itu ia tertawa.

Melihat Eyang tertawa, aku juga ikut tertawa. Mungkin obrolan ringan dan santai seperti ini yang kami butuhkan berdua sekarang. Di tengah-tengah Eyang putri yang terbaring di ICU, pikiran kami kalang kabut dan mungkin dengan mengobrol berdua seperti ini, kami bisa sama-sama melepaskan beban di hati yang bergelayut.

***

Bara di hati Mikha (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang