Bab 27.3 Cahaya Lentera

561 101 10
                                    

Maaf baru update lagi. PDF freenya belum saya rilis karena pdf berbayar belum selesai saya kerjakan. Jadi saya update tipis2 dulu aja deh ya. Daripada nunggu kelamaan. 

Hehehe ....

Happy reading! ^^

.

.

.

Bab 27.3 Cahaya Lentera

.

.

.

Maximus berjalan tergesa untuk menemui kaisar. Mengabaikan rasa sakit akibat luka di punggung, pria itu menepis tangan Ega yang berniat membantunya untuk berjalan.

Sesaat Maximus berhenti berjalan saat rasa sakit itu tidak terelakkan. Sedikit lagi, batinnya sembari menatap lorong panjang yang harus dilewatinya menuju ruang kerja kaisar.

Tertatih, Maximus akhirnya tiba di depan pintu ruang kerja yang tertutup rapat. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi kening. Dua orang penjaga yang berdiri di sisi kiri dan kanan pintu segera memberi hormat. Setelah Ega bicara, salah satu diantara mereka mengetuk pintu lalu masuk ke dalamnya sementara Maximus menunggu di luar.

Tidak sabar menunggu, Maximus memaksa masuk. Ia mendorong pintu kayu ganda itu lalu merangsak masuk dengan wajah pucat. Melihat keberadaan putra sulungnya, Kaisar Takvor mengusir prajurit yang tadi menghadap dan tiga orang pejabat di dalam ruangan itu. Tanpa membantah, mereka segera pamit undur diri, meninggalkan kaisar dan Maximus untuk bicara empat mata di dalam ruangan itu.

Travor menyangga dagu dengan ujung telunjuknya. Pria itu menatap dingin Maximus yang berdiri menahan tubuh menggunakan tangan di depan meja kerja kaisar.

"Di mana Yuwen?" Suara Maximus terdengar berat. Matanya mulai berkunang-kunang. Mengabaikan rasa sakit di kepala, ia terus berdiri, menunggu jawaban kaisar atas pertanyaannya.

Kaisar tidak langsung menjawab. Ia sudah menduga jika putra sulungnya akan memberi reaksi seperti ini. "Dia tidak mati ...." Takvor menggantung ucapannya. Menggendikkan bahu, ia lanjut bicara. "Dia tidak mati jika itu yang kau takutkan," sambungnya.

Gertakkan gigi Maximus tidak membuat Takvor beranjak dari kursinya. Ruang kerja kaisar diselimuti oleh cahaya kekuningan lentera-lentera kristal yang menggantung di langit-langit tinggi ruangan.

"Yu Wen ada di tempat aman, jadi sebaiknya kau kembali ke kamarmu sebelum aku berubah pikiran dan membunuhnya."

Maximus menggelengkan kepala. Ia menggebrak meja dengan kepalan tangannya. Amarah sang putra mahkota sudah tidak terbendung. Kepercayaannya terhadap sang ayah masih belum pulih sepenuhnya.

Bergerak pelan, Takvor menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Mata setajam pedang itu tidak melepas pandangan dari wajah putra mahkota. "Ini bukan pertama kali aku bertanya," ucapnya. Ia mengangkat satu alis tinggi. "Kenapa kau begitu peduli terhadap budak itu?" Pertanyaan kaisar meninggalkan senyap. Pandangan Maximus tidak berkedip, ekspresi putra mahkota sedingin lautan es.

"Apa kau mencintainya?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut kaisar, merobek senyap yang sempat tercipta. Wajah pucat Maximus tidak menurunkan keinginan kaisar untuk menyudutkan sang putra mahkota. "Apa kau mencintainya?" Kali ini Takvor menggunakan nada menekan saat bertanya. Ekspresi datar Maximus tidak bisa mengelabuinya.

"Seorang kaisar ditakdirkan untuk kesepian selama hidupnya." Takvor lanjut bicara saat tidak mendapat tanggapan. "Sudah berapa kali aku mengatakan hal itu kepadamu? Ada banyak hal yang harus kau korbankan demi takhta Kekaisaran Barat."

"Omong kosong!" Maximus mendesis. Menggertakkan gigi, telapak tangannya terkepal erat di atas meja.

Menjeda untuk menarik napas, Takvor tersenyum sinis. "Perhatian berlebihanmu bisa membuatnya mati." Takvor mengetukkan jari ke atas meja kayu. "Maximus, jika kau tidak ingin melihatnya mati, kau harus bisa mengendalikan perasaanmu itu!"

.

.

.

Aroma harum bunga magnolia menyapa indra penciuman Yu Wen saat ia terjaga. Kelopak mata yang terpejam itu perlahan terbuka. Yu Wen mengerang, telinganya mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru.

Dimana dia sekarang?

Rasa sakit membuat Yu Wen tidak bisa bergerak banyak. Tubuhnya yang tengah berbaring tengkurap terasa kaku. Kepala pria itu menoleh, Yu Wen membuka mulut, hendak bicara, tapi gagal. Tenggorokan dan lidahnya terasa kering luar biasa.

Ah, suara langkah kaki lagi. Yu Wen yakin ada dua orang yang bergerak ke arahnya saat ini. Pria itu kembali memejamkan mata, memasang indra pendengarannya dengan saksama hingga sebuah suara merdu itu terdengar, lembut.

"Angkat kepalanya. Hati-hati ...."

Yu Wen bisa menangkap nada khawatir yang terselip dalam suara lembut itu. Apa seorang dayang? Tanyanya di dalam hati.

Sensasi segar dirasakan Yu Wen saat air menyentuh bibir keringnya. Mulutnya dengan rakus menyesap semua air yang masuk dan turun ke dalam tenggorokannya. Ia merasa hidup kembali.

"Yu Wen?" Sebuah usapan lembut penuh kehati-hatian mendarat di puncak kepala pria itu. Yu Wen masih tidak bicara. Kelopak matanya sengaja dipejamkan. Ia menunggu, berusaha mencari tahu lebih jauh identitas wanita yang memanggil namanya ini.

"Bangun, Nak! Jangan membuat ibu takut." Suara Mei Hwa sedikit bergetar saat bicara. Tangan halusnya masih membelai pelan puncak kepala Yu Wen. Wanita itu perlahan menunduk, mendaratkan satu kecupan di kepala putranya. Tangis Mei Hwa kembali pecah. Dadanya terasa sesak luar biasa oleh desakan kesedihan.

Bukan ini yang ingin dilihat Mei Hwa saat bertemu kembali dengan putranya. Wanita itu terus menangis. Air matanya menganak sungai. Rasa bersalah semakin menyelimuti diri wanita itu. Pertahanan yang dibangun tinggi selama ini akhirnya hancur. Ketegaran Mei Hwa hancur saat melihat kondisi Yu Wen yang terluka parah. Bekas luka di tubuh putranya pun seperti tamparan untuk Mei Hwa. Wanita itu tidak bisa membayangkan kehidupan yang dijalani oleh Yu Wen selama ini.

Mei Hwa mengusap air mata saat merasakan telapak tangannya ditarik oleh sang dayang. Mei Hwa menunduk, mengerjapkan mata sementara dayangnya menunjuk-nunjuk ke arah Yu Wen dengan antusias.

Menoleh, Mei Hwa terkesiap. Bibirnya gemetar, menahan isakan. "Yu Wen?" panggilnya lirih, nyaris tidak terdengar. Walau masih lemah, pria itu memaksakan diri untuk duduk. "Hati-hati," ucap Mei Hwa. Wanita itu mengambil cawan keramik berisi air dari atas meja lalu menyodorkannya pelan ke tangan Yu Wen.

Tanpa kata, Yu Wen menerima cangkir itu. Dengan rakus ia meneguk isinya hingga habis tidak bersisa.

Pandangan mereka bersirobok hingga Mei Hwa memutusmnya. Wanita itu sibuk memberi intruksi kepada dayang untuk menyiapkan makan siang dan obat Yu Wen.

Setelah kepergian dayang, Mei Hwa kembali menghadapi putranya. Senyum wanita itu terkembang. Tangannya terulur, menyentuh pipi tirus putranya. "Pasti ada banyak pertanyaan yang melintas di dalam kepalamu saat ini," tebaknya.

Mei Hwa menjeda untuk menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Ada banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu," sambungnya. "Tapi darimana aku harus memulai?"

Yu Wen masih tidak menjawab. Sekarang ia mulai mengenali wanita cantik di hadapannya ini. Ia pernah melihat lukisan wanita ini. Seorang wanita penting yang harus dilindunginya dengan seluruh jiwa dan raganya.

"Aku Mei Hwa," ucapnya tidak membuat Yu Wen bereaksi. Dalam diam, mata tajam pria itu mengamati wajah cantik wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjang. "Ibumu ... aku ibu kandungmu," sambung Mei Hwa, tersenyum penuh rindu.

.

.

.

TBC

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang