PROLOG

107 15 8
                                    



Langkah kaki gadis bergamis cokelat tua itu terhenti tepat beberapa meter dari gapura besar bertuliskan "ISLAMIC ENTERPRENEUR ACADEMY (IEA)". Hijab segi empat hitamnya berkibar tertiup angin. Namun, meskipun begitu, hawa yang ia rasakan masih terasa begitu panas. Tidak heran, sudah rahasia umum bahwa Surabaya termasuk kota dengan udara terpanas di Jawa Timur.

Gadis 20 tahun itu mendesah pasrah. Tangan kanannya mencengkeram erat pegangan tas ransel abu-abu yang digendongnya, sementara tangan kiri menenteng sebuah kardus ukuran mie instan yang berisi beberapa perlengkapan tambahan. Sebenarnya, kalau bisa memilih, ia lebih suka memasukkan segala keperluannya ke dalam koper ungu favorit miliknya. Hanya saja, pada kertas persyaratan yang ia terima dua minggu lalu tertera poin tentang barang-barang yang tidak boleh dibawa. Salah satunya,
yaitu koper. Sebagai gantinya, mereka mengizinkan untuk membawa tas ransel dan kardus seukuran mie instan, persis seperti yang ia bawa saat ini.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tidak sendirian. Banyak laki-laki dan perempuan yang berbusana muslim hilir mudik di sekitar bangunan berlantai satu itu. Tentu saja dengan menenteng barang-barang bawaan mereka. Sudah pasti mereka juga baru datang dan akan mendaftar ulang di kerumunan yang tampak di sisi kiri gedung—yang sepertinya merupakan kantor utama.

Segala hal yang dilihatnya sekarang merupakan pemandangan yang sangat asing bagi gadis berwajah oval itu. Sangat berbanding terbalik dengan hal yang ia temui dalam satu tahun terakhir. Biasanya, ia lebih sering melihat kumpulan remaja berbusana stylish dengan rambut dicat warna-warni. Tidak jarang, beberapa kata kotor juga sering terlontar dari mulut mereka. Akan tetapi, kali ini, justru lantunan ayat sucilah yang terdengar melalui pengeras suara di beberapa sudut bangunan.

Gadis itu kikuk. Canggung. Hingga akhirnya seseorang menepuk bahunya dari belakang.

"Mbak Zahra, kenapa berdiri saja? Ayo, masuk! Temenin aku."

Seorang gadis berhijab merah marun meraih tangan Zahra dan menggandengnya. Mau tidak mau, Zahra mengikuti langkah kaki Enisa yang cukup lebar karena memang tinggi gadis itu lebih beberapa belas sentimeter di atas Zahra. Satu sama lain baru saja berkenalan ketika bertemu di titik kumpul sebelum berangkat ke akademi. Namun, karena Enisa sepertinya merupakan tipe yang gampang bergaul, Zahra nyaman-nyaman saja memulai pertemanan dengan gadis periang yang satu itu.

Mulai detik ini, kehidupannya akan berubah total. Tidak ada lagi musik yang menghentak-hentak. Tidak ada lagi bentakan Mbak Ashana ketika mengoreksi latihan vokalnya yang keliru. Tidak ada lagi latihan koreografi bersama tiga orang member grupnya. Dan tidak ada lagi Kang Tae Hyeong, pacarnya.

Ah, andai saja Ibu tidak mengetahuinya, aku pasti tidak akan berakhir di tempat seperti ini! jengah Zahra dalam hati.

****

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang