BAB 8

23 4 2
                                    


"BAKPAU! Donat!"

"Cireng! Puding!"

"Kerupuk! Peyek!"

....

Tiba-tiba hening. Maher yang sedang tidak fokus terus melangkahkan kaki hingga menubruk seseorang di depannya. Saat itu, barulah ia menyadari bahwa ketiga teman sekelompoknya telah berhenti berjalan dan menjatuhkan pandangan ke arahnya. Kompak.

"Giliranmu," ucap Daud, sang ketua kelompok.

"Oh," desis Maher pelan. Ia mengamati nampan merah bata yang dibawanya, lantas mulai ikut berteriak untuk menjajakan dagangan seperti yang ketiga temannya lakukan.

"Sari dele! Sinooom!"

Mendengar Maher memanjangkan suku kata 'nom' pada bagian akhir, membuat ketiga orang yang bersamanya itu tergelak tawa. Bagaimana tidak? Maher memainkan nadanya seperti nada azan!

Setelah puas tertawa, mereka kembali menyusuri jalan perumahan sembari menoleh ke kanan-kiri, siapa tahu ada warga yang memanggil untuk membeli dagangan mereka.

Sepagian ini, jajanan yang mereka jual baru laku beberapa. Zayyan yang bertugas sebagai bendahara sempat mengintip sejenak uang hasil penjualan mereka di wraistbag yang dilingkarkannya di pinggang macam kernet bus itu. Ia mengembuskan napas panjang ketika melihat hanya ada beberapa uang pecahan dua dan lima ribuan yang terlipat dua di dalam sana.

Maher menepuk bahu Zayyan pelan, sementara kedua teman sekelompoknya sudah berada beberapa langkah di depan.

"Masih empat jam lagi sebelum Zuhur," ucap Maher menenangkan. "Kita baru jalan satu jam. Nanti pasti ada yang beli di depan sana. Rezeki nggak akan tertukar, kok!"

Zayyan melayangkan segaris senyum untuk menanggapi nasihat Maher. Setelah itu, ia mengencangkan kembali tas pinggangnya lantas mengeratkan genggaman pada tali kerupuk dan peyek yang dibawanya.

Enterpreneur. Itulah sebutan kegiatan yang tengah mereka lakukan di hari ketiga masa orientasi ini. Tentu saja jajanan itu bukan mereka sendiri yang membuatnya, melainkan titipan dari warga di sekitar kampus. Mereka berempat—Maher, Zayyan, Daud, dan Alex—memutuskan untuk menjadi satu kelompok karena tempat duduk mereka yang bersebelahan dan enggan repot-repot memilih-milih.

Pada hari sebelumnya, mereka mengunjungi warga pembuat jajanan itu untuk memesan seberapa banyak dengan harga yang telah disepakati. Kemudian, keesokan paginya, pagi-pagi sekali, setelah melaksanakan piket asrama, keempat ikhwan penghuni asrama Abu Bakar itu berangkat mengambil pesanannya lantas mulai berkeliling untuk berjualan. Tentu saja dengan menaikkan harganya seribu hingga dua ribu rupiah. Nanti, hasil dari penjualan itu akan dibayarkan kembali kepada produsen mereka dengan harga pokok, lalu sisanya baru akan dibagikan kepada anggota kelompok secara merata.

Mungkin karena daerah sekitar kampus sudah terbiasa dengan aktivitas para mahasiswa ini, tidak ada yang memandang aneh terhadap mereka. Apalagi angkatan kali ini sudah menginjak angkatan ke-10. Coba kalau jualan keliling ini dilakukan di kota lain, tidak menutup kemungkinan akan ada banyak komentar miring yang beredar.

"Tadi lagi mikirin apa, sih, Gus?" tanya Zayyan pelan ketika mereka berempat duduk istirahat di salah satu pos ronda yang sepi. "Kok, nggak konsentrasi gitu? Ngelamuuun aja sepanjang perjalanan."

Maher menaikkan sudut bibirnya sebelah. "Bukan apa-apa."

"Bohong," tuduh Zayyan sembari tertawa pelan. "Pasti mikir ses—"

"Ikhwan!"

Belum selesai Zayyan berbicara, sebuah suara cempreng tiba-tiba mengudara, membuat keempat laki-laki itu menoleh ke arah seberang jalan paving perumahan.

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITWhere stories live. Discover now