BAB 3

42 6 31
                                    

Zahra menyalakan ring light lantas mematikan saklar lampu kamarnya sehingga hanya tertinggal satu sumber cahaya. Ia menempatkan ponselnya di tengah lampu bundar yang menyala terang itu lantas menekan tombol hijau di layar. Tampak potret seorang pria mengenakan kaos hitam menatap kamera dengan senyuman mautnya.

"Hai," sapanya semringah.

Zahra tidak kuasa menahan hormon oksitosin yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Meskipun pria yang berambut agak bergelombang itu sudah sering menghabiskan waktu bersama dirinya selama beberapa bulan terakhir, tetap saja tidak menyurutkan rasa cintanya. Malah, yang ada, rasa cinta itu semakin tumbuh dan tumbuh tidak ada habisnya.

Zahra membalasnya balik dengan senyum mengembang.

"Hai."

"Gwaenchanha? Eojebuteo, jeonhwareul gidarigo isseosseo(1)." Suara di layar itu terdengar agak manja. Sangat berbeda dengan yang biasa Zahra dengar ketika sedang berada di tempat kerja. Hal ini cukup membuat gadis itu gemas setengah mati. Bagaimana dirinya bisa mengakhiri hubungan yang membuat hatinya sangat jungkir balik itu?

"Geuman(2)," sahut Zahra agak ketus. "Kenapa enggak pernah bilang kalau udah bisa ngomong bahasa Indonesia? Sama aku, ngobrol pakai bahasa Korea muluuu ...."

Mendadak gadis itu teringat akan percakapan sang pacar dengan Bu Nenden di hari yang cukup memalukan dua hari lalu. Bagaimana bisa ia secara tiba-tiba menghampiri dan berbicara cukup luwes dengan ibunya? Pakai bahasa Indonesia lagi! Yah, meskipun tidak ditanggapi dengan baik juga oleh sang ibu. Padahal, pada hari biasa, Zahra dan Tae Hyeong selalu menggunakan bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Tawa renyah terdengar dari seberang. "Ketahuan, deh."

"Sejak kapan?"

"Satu tahun tinggal di sini, enggak belajar bahasanya sekalian, rugi, dong!" jawabnya bangga. "Sengaja enggak bilang, biar Jagi(3) lebih fasih juga bahasa Koreanya. Biar nanti, ketika kubawa ke negaraku dan ketemu calon mertua, bisa diajak ngobrol."

Zahra menggigit bibirnya miris. Sang pujaan hati sudah berpikiran jauh ke depan, sedangkan dirinya malah masih di ambang kegalauan karena ibunya jelas-jelas tidak merestui hubungan mereka.

Melihat Zahra tidak menanggapi, sepertinya Tae Hyeong mulai menyadari ada yang salah dengan pacarnya itu. Ia mendekatkan kamera ponsel dan membiarkan seluruh wajahnya memenuhi layar.

"Wae gaeurae? Museun irisseo(4)?" tanya Tae Hyeong dengan nada sedikit khawatir.

Zahra mengembuskan napas lantas kembali mengembangkan segaris senyum seolah tidak ada yang mengusik pikirannya.

"Aniya. Amugeosdo(5)," jawabnya. "Oh, iya. Gimana kelanjutan babak final kemarin? Sampai rumah aku nggak lihat siaran ulangnya soalnya."

Setelah peristiwa yang cukup kacau itu, Zahra memang sama sekali tidak membuka media sosial apa pun. Ia terus kepikiran tentang rencana yang telah disusun sang ibu, juga mengenai hubungannya dengan Tae Hyeong. Sebenarnya, logikanya setuju dengan pendapat Bu Nenden bahwa dua manusia yang berbeda keyakinan haram hukumnya untuk bersama. Akan tetapi, hatinya menolak. Ia terlanjur menyukai pria dari negeri ginseng itu. Sangat.

Itulah mengapa gadis itu tidak kunjung menghubungi sang pacar mulai dari kemarin, padahal sebelumnya ia berniat akan menelepon Tae Hyeong sesegera mungkin.

"SKY pemenangnya," cetus Tae Hyeong yang kembali meletakkan ponselnya di sesuatu yang datar—sepertinya sebuah meja—sehingga potret setengah badannya kembali terlihat. "Hari Sabtu nanti mereka akan kubawa ke Seoul."

"Hari Sabtu nanti?" Zahra tampak terkejut. "Wae gabjagi(6)?"

Seingat Zahra, sebelumnya, kru mengatakan bahwa pemenang kompetisi baru akan diboyong ke agensi pusat antara dua sampai tiga minggu kemudian setelah babak final. Mereka akan dilatih lebih keras lagi supaya benar-benar siap untuk debut secara internasional. Tapi, ini ... empat hari lagi? Apakah kejadian kemarin yang menyebabkan panitia mempercepat keberangkatan mereka?

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें