BAB 2

52 11 8
                                    



SEORANG pria berusia awal 20 tahun-an tengah bersandar di sandaran kasur berseprai kotak-kotak hitam dengan memangku sebuah laptop. Pandangannya terfokus pada layar 14 inci yang menyala itu. Pada kedua telinganya terpasang sebuah headphone dengan volume yang lumayan keras, sehingga sama sekali tidak mendengar bahwa seseorang baru saja menggedor-gedor pintu kamarnya, bahkan sampai berteriak sekalipun.

Ketika pintu kayu bercat putih tulang di pojok ruangan berayun membuka, barulah pria bermata cokelat tua itu mengalihkan perhatiannya ke arah sumber suara. Dengan kaget, tentu saja. Sontak ia menutup layar laptop dan melepas headphone yang sedari tadi ia kenakan.

Seseorang yang menyembul dari balik pintu mengamati gerak-gerik aneh adiknya. Ia terdiam sesaat sebelum sang adik merespons kedatangannya.

"Ap—apa? Apa, Mas?" Si adik akhirnya bersuara, terdengar panik. "Kenapa tiba-tiba?"

"Tiba-tiba, Mbahmu," desis sang kakak. "Memangnya lagi nonton apa, sih, sampai-sampai suara Mas yang udah kayak suara azan pakai toa musala enggak kedengaran, ha?"

Yang ditanya hanya mengerjap-ngerjap sembari meringis hingga memperlihatkan susunan gigi putihnya yang rapi.

"Bukan apa-apa, kok, Mas," jawab pria itu sekenanya. "Cuma ... cuma cari referensi buat buka bisnis."

"Bisnis apa bisnis?" goda pria berbaju koko kuning pastel itu. "Kamu enggak lagi nonton video gitu-gitu, kan?"

"Astagfirullah, Mas. Suuzan mulu, nih orang. Ya Allah." Pria yang mengenakan kaos putih oversize itu akhirnya beranjak dari kasur dan mulai berjalan mendekati saudara sulungnya yang masih tegap berdiri di ambang pintu. "Kenapa, sih? Ada apa? Sampai repot-repot kemari?"

"Inget, ya, Her. Nonton gituan hukumnya d-o-s-a," tutur Zafran, sang kakak, sembari menekankan suaranya di kata terakhir yang ia ucapkan. "Kalau nggak mau dosa, sana nikah!"

"Astagfirullah. Enggak, Mas. Ya Allaaah ...," sahut Maher sembari memanyunkan bibirnya hingga beberapa sentimeter. "Bukan ituuu ...!"

Zafran tergelak. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menggoda sang adik semata wayang itu. Malah, biasanya, ia tidak akan pergi sebelum adiknya benar-benar geram hingga hampir melemparnya dengan apa pun yang diraihnya. "Ya sudah, kamu ganti baju yang sopan, gih! Ummi udah nunggu kita berdua di ruang tengah."

Setelah berkata begitu, Zafran segera berbalik dan melenggang pergi, meninggalkan Maher yang masih bertanya-tanya kenapa ia ikut dipanggil dalam pertemuan kali ini. Biasanya, ia selalu dikecualikan. Bukan karena umminya pilih kasih. Bukan. Melainkan karena dirinya sendiri yang meminta seperti itu.

Menurutnya, urusan pesantren sangat rumit. Meskipun ia tumbuh di lingkungan agamis, Maher tidak merasa terlalu ingin terlibat terlalu dalam. Cukup paham agama, dipraktikkan. Sudah. Beruntung dirinya hanyalah anak kedua, sehingga setelah Kiai Imam, sang ayah, meninggal dunia satu setengah tahun lalu karena sakit, pesantren diurus oleh Zafran, sang putra pertama, yang memang lebih mumpuni ketimbang dirinya.

Maher kembali membuka komputer jinjing yang ia geletakkan di atas kasur sebelumnya. Sebuah video streaming tampak terjeda. Tampak seorang gadis berambut lurus panjang dikucir kuda tengah ditarik oleh wanita bergamis lebar menjauh dari panggung—membuat sedikit keributan. Ketika pria itu mengeklik tanda segitiga miring di tengah layar, tampilan sudah berubah. Seorang pria berusia sekitar awal 30 tahun-an bersetelan cokelat muda tengah memandu acara lantas memanggil satu grup perempuan berjumlah lima orang dengan busana serba merah jambu.

Maher mengembuskan napas panjang. Ia kembali menutup laptopnya dan memindahkan barang elektronik yang sudah berusia genap enam tahun di tangannya itu ke atas meja di sudut ruangan. Ia tidak sedang mengagumi kemolekan gadis-gadis itu. Bukan. Hanya saja, seseorang yang dulu dikenalnya merupakan salah satu peserta dari acara kompetisi itu. Seseorang yang dulu sempat membuat dunianya jungkir-balik karena gadis itu terlalu untouchable.

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITWhere stories live. Discover now