BAB 6

23 3 0
                                    

Selama kegiatan berlangsung, Maher susah berkonsentrasi pada poin-poin yang disampaikan oleh pemateri di depan aula. Ia hanya berpikir tentang bagaimana bisa Zahra juga ikut masuk ke dalam lembaga itu. Lantas, bagaimana dengan karier dan cita-citanya? Apakah gadis itu benar-benar sudah menyerah?

Zayyan yang duduk di sebelah kiri Maher menyikut lengannya pelan, membuat dirinya kembali tersadar dari alam lamunan yang cukup menyita waktu. Zayyan memandangnya bolak-balik dari wajah Maher ke kertas yang masih tampak putih bersih tanpa segores pensil sedikit pun di atas mejanya.

"Cepet kerjain, Gus," bisik Zayyan. "Waktu kurang 15 menit lagi sebelum istirahat untuk salat Zuhur."

Maher mengerjap-ngerjap lantas memperhatikan teman-teman sekitarnya yang tengah fokus menggambar di atas lembaran yang telah mereka terima beberapa puluh menit yang lalu. Laki-laki berambut lebat itu menoleh ke arah Zayyan.

"Memangnya disuruh ngapain, sih?" tanyanya polos.

Zayyan tampak terkejut. Kedua alisnya naik. Ekspresi heran bercampur kagetnya tidak bisa ia sembunyikan.

"Astagfirullah," ucapnya lirih. "Dari tadi Gus enggak nyimak?"

Maher menyipitkan kedua matanya dan menggeleng pelan. Mungkin karena efek dirinya sudah setahun menganggur, jadi otaknya ikutan nge-blank untuk mengikuti kelas. Padahal, masih kelas perkenalan saja.

Tidak. Jelas bukan itu masalahnya.

Gadis yang tengah duduk di barisan paling pojok depan itulah sebenarnya yang menjadi sumber masalah. Kenapa ia bisa tiba-tiba muncul di sini, sih? Si Zahra ituuu ....!

"Lagi banyak pikiran." Maher beralasan. Ia melayangkan segaris senyum innocent kepada Zayyan, berharap temannya itu mau memberitahu tugas apa yang kini tengah diberikan.

"Kita disuruh menggambarkan mimpi kita di kertas ini," jawab Zayyan akhirnya. "Enggak boleh ditulis, tapi digambar. Gus bisa gambar?"

"Kan, sudah kubilang, jangan panggil begitu," protes Maher berbisik.

"Canggung, Gus," respons Zayyan. "Khusus saya saja boleh, ya? Nanti kalau ditanya teman-teman, biar tak jawab kalau Gus ini mirip sama teman saya di desa, namanya Agus. Boleh?"

Semakin mengada-ada saja, nih bocah! sungut-sungut Maher dalam hati.

"Terserah kamu sajalah," pasrah Maher sembari mengangkat kertasnya yang masih bersih ke udara.

Zayyan tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu gambar apa, Yan?" tanya Maher sambil melirik ke arah meja Zayyan di sampingnya.

Zayyan yang memiliki lesung pipit itu menarik kertasnya dari atas meja lantas memajangnya di depan dada seolah-olah sedang presentasi. Mata Maher tampak berbinar ketika melihat hasil gambar teman di sampingnya itu. Meskipun hanya menggunakan bolpoin tinta hitam, gambaran itu terasa sangat nyata.

Pada bagian kertas bagian paling atas tampak potret seorang pria memakai jas dan menenteng tas kerja. Di bawahnya, potret seorang pria berbaju koko tengah duduk di kursi yang disediakan di atas panggung sambil memegang sebuah mikrofon. Sepertinya, gambar laki-laki itu tengah memberikan ceramah dalam suatu pengajian. Yang terakhir, di bagian paling bawah, terdapat gambar sebuah bangunan bertuliskan 'Rumah Makan Bu Sih'.

"Ini mimpiku, Gus," ucap Zayyan sambil memelankan suara, takut konsentrasi teman-teman yang lain terganggu. "Businessman, pendakwah, dan membuka rumah makan buat ibuku."

Melihat raut wajah Zayyan yang ceria ketika menunjuk mimpinya satu per satu, Maher melemparkan segaris senyum. Sungguh mulia cita-cita anak yang satu ini, batin Maher kagum. Sementara dirinya, masih belum mengetahui apa yang ia impikan sesungguhnya.

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITWhere stories live. Discover now