BAB 9

20 3 2
                                    

"MEREKA enggak mau beli dagangan kita," lapor Azumi setelah kembali kepada kelompoknya yang tengah menunggu di bawah pohon. "Katanya, dagangan mereka juga masih banyak, jadi nggak bisa bantuin."

"Lagian, ngapain bisa punya ide murahan kayak begitu, nah?" semprot Chaca dengan logat Kalimantannya. "Malu-maluinlah!"

"Aku, kan, cuma nawarin. Ya, kali aja mereka mau, kan?" Azumi membela diri. Tampak sekali dirinya tidak ingin disalahkan.

"Masalahnya, yang kita jualin, sama yang mereka jualin itu barangnya sama, Markonah!" sahut Chaca tidak terima. "Ngeselin banget, nih bocah, lama-lama, nah."

Zahra memijat pelipisnya yang mulai pusing. Sudah tahu panas matahari sedang terik-teriknya. Bukannya cepat-cepat kembali ke asrama, malah ada acara berantem di jalan segala.

Mendengar ocehan kedua teman sekelompoknya, membuat kepala Zahra semakin berdenyut. Selama ini, ia jarang sekali—bahkan tidak pernah—terpapar sinar matahari hingga berjam-jam seperti itu. IUNAN, mantan girlgroup-nya sering mengambil job perform pada malam hari. Kalaupun harus terpaksa ambil waktu siang, paling tidak hanya tampil sekitar 10 hingga 20 menit.

Kakinya juga sudah sangat pegal karena lelah berkeliling. Ia hanya ingin segera tiba asrama. Melepas hijab putih lebarnya, lalu merebahkan diri di lantai keramik yang dingin.

"Sudah, deh!" ucap Enisa akhirnya. Sepertinya gadis itu juga sudah muak dengan pertengkaran antara Azumi dan Chaca. "Cukup. Mending kita balik ke asrama sekarang. Satu setengah jam lagi sudah azan Zuhur. Kita harus udah sampai di asrama sebelum azan. Dilarang absen salat berjamaah kecuali halangan, ingat?"

Azumi dan Chaca masih saja beradu tatap seolah memancarkan laser tak kasat mata. Kedua gadis itu sepertinya tidak akan bisa berhenti—bahkan hingga seharian sekalipun—kalau tidak dilerai secepatnya.

"Tunggu!"

Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar dari balik punggung mereka. Otomatis keempat gadis itu membalikkan badan. Azumi bergerak cepat meninggalkan posisinya dan secepat kilat mendekat ke arah sumber suara.

"Ya, Maher. Ada apa?" tanyanya dengan suara tinggi yang agak dibuat-buat. Zahra sempat melirik ke arah Chaca yang bergestur ingin muntah mendengar nada bicara Azumi.

Maher sama sekali tidak menanggapi kehadiran Azumi yang berada tepat di depannya. Laki-laki itu malah menelengkan wajahnya beberapa derajat lantas menjatuhkan tatapannya kepada sosok gadis yang berada di belakang Azumi.

"Zahra, bisa bicara sebentar?" ucapnya kemudian.

Gadis yang ditunjuk mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia sempat menoleh ke arah kedua temannya—Enisa dan Chaca—yang hanya menanggapi dengan tatapan heran.

"Aku?" Zahra menunjuk dirinya sendiri.

Maher mengangguk lantas mengedikkan kepala seolah mengajak Zahra berpisah sejenak dengan kelompoknya. Karena kaget sekaligus penasaran, akhirnya gadis itu menuruti ajakan Maher begitu saja. Mereka berdua berjalan beberapa langkah menjauh.

"Ke-kenapa? Ada apa ... Gus tiba-tiba ingin ajakin bicara?" tanya Zahra ragu-ragu setelah keduanya tiba di ujung gang. Dari tempatnya berdiri, Zahra masih bisa melihat teman-temannya masih menatap dirinya dan Maher meskipun tidak begitu jelas ekspresi apa yang kira-kira terpancar dari wajah mereka.

"Aku ... aku minta kamu berhenti panggil aku dengan sebutan 'gus'," jawab Maher. "Aku nggak ingin mereka tahu kalau aku anak kiai. Cukup panggil aku Maher, dan mulai sekarang, aku akan panggil kamu Zahra, biar terdengar lebih akrab."

Zahra masih tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini. Kenapa mendadak laki-laki itu ingin tampak akrab? Seingatnya, ketika terakhir bertemu kemarin, Maher masih memanggilnya dengan tambahan 'mbak' sebelum namanya.

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITحيث تعيش القصص. اكتشف الآن