02 🔵 Emang Ngeselin!

43 5 4
                                    

“Mbak Asna!”

Dalem. Kenapa, Ama?” Sang pemilik nama pun menyahut seraya menoleh. “Loh, Syafa. Aku nungguin dari tadi. Kenapa nggak ngabarin aku kalau udah sampe?” Setelah Syafa tersesat di antara ramainya manusia berlalu-lalang, Khasna dengan santainya bertanya seperti itu?

“Aku udah ngabarin kamu, loh. Teleponku juga nggak diangkat,” sahut Syafa sedikit kesal.

Khasna pun mengeluarkan ponselnya dari saku gamis, lantas menghidupkan benda pipih itu. Beberapa detik kemudian, dia tersenyum masam. “Hehe. Maaf, Syaf. Aku nggak tau. Ternyata handphone aku mode senyap.”

Syafa hanya diam. Hingga akhirnya Khasna kembali angkat bicara. “Eh, kamu sendirian? Kayla ke mana? Waktu itu aku nggak lupa, 'kan? Aku ngajak Kayla juga, 'kan?”

“Iya, Khasnaaa. Kayla pergi ke rumah kakek neneknya di luar kota. Kakeknya meninggal semalem.” Kesedihan ganda. Padahal dia senang sekali diundang Khasna ke acara haul ini. Katanya, walaupun mayoritas keluarga dan santri, siapa tahu suatu saat dia bisa jadi anggota kelurga Alkaf. Sebuah mimpi yang sepertinya lebih sulit tercapai dibandingkan mimpinya yang ingin menjadi dokter.

“Innalillahi. Turut berdukacita.”

“Duduk, yuk, Mbak.” Salma yang sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan keduanya pun kini terdengar suaranya.

Khasna pun mengangguk, disusul bahasa tubuh Syafa yang terlihat canggung. “Na, aku malu banget sumpah. Dari tadi pada ngelihatin aku semua. Ini serius nggak apa-apa aku ikut di sini?”

Bagaimana tidak. Bahkan kini Syafa mengenakan celana, sweater rajut, dan pasmina di saat yang lain mengenakan gamis dan sarung. Ya, dia tidak salah. Mungkin pakaiannya yang salah karena tidak mengenal waktu dan tempat. Syafa hanya berusaha agar sedikit lebih sopan. Daripada rambutnya tergerai.

Bahkan kini seperti sebuah keajaiban. Seorang Syafa yang bahkan ogah-ogahan memakai jilbab saat di sekolah, tadi pagi, dengan hebohnya dia mencari jilbab di lemarinya. Barangkali ada jilbab lain selain jilbab sekolah yang dapat dirinya temukan. Syukurlah dia menemukannya. Akan sangat tidak lucu sekali jika dia menggunakan jilbab sekolah.

Dengan sangat malu dan sedikit asing dengan suasana yang dirinya hadapi sekarang, Syafa berjalan mengekori Khasna dan Salma. Ketika merasa ada yang menatapnya, maka dia akan berbalik menatap. Terus seperti itu hingga terduduklah mereka di pelataran pesantren, di bagian depan bergabung dengan para santriwati.

Matanya menyelusuri sekitar. Hingga tanpa sengaja dia melihat seseorang dengan senyumnya yang sangat manis. Ah, tidak. Maksud Syafa manis menurut orang-orang. Menurutnya tentu saja tidak. Gus Alkaf terlihat berbincang dengan seorang lelaki tua, lantas menghilang entah ke mana.

Sekali lagi, Syafa sungguh merasa malu, canggung, dan iri. Ketika melihat Khasna yang selalu disapa dan diajak beramah-tamah, senyumannya memunculkan rasa iri pada diri Syafa. Seolah kesempurnaan terletak pada Khasna dan dirinya seakan tersesat terlampau jauh.

“Na, boleh pinjam kamar mandinya?” Syafa bertanya dengan sedikit berteriak. Di sini bising sekali. Suara-suara saling beradu, berbanding terbalik dengan rumahnya yang sangat sunyi.

“Boleh. Ayo, aku antar.” Jeda sepersekian detik, dia menoleh pada Salma. “Ama, mbak nganter ke kamar mandi dulu, ya,” ucapnya dan dijawab anggukan oleh Salma.

Setelah berhasil memecah kerumunan, Syafa dan Khasna berhasil sampai di kamar mandi ndalem. Sengaja Khasna membawanya ke sini karena yang terdekat. Jika harus di rumah Khasna, akan memakan waktu lama dan memecah lebih banyak kerumunan.

“Bentar, ya, Na.”

Syafa memasuki kamar mandi. Tepat setelah menutup pintu, tangannya bergegas melepas jilbab yang menutup kepalanya. Gerah sekali katanya. Sebenarnya Syafa hanya ingin melepas jilbab. Dia terus mengibaskan tangan, barangkali rasa gerahnya sedikit berkurang. Merasa sudah cukup lama berdiam diri di kamar mandi, Syafa pun keluar.

Istauda'tukallahWhere stories live. Discover now