09 🔵 Pengakuan

15 2 0
                                    

“Ngaku kamu!” Kayla terus mendesak Syafa.

“Ngaku apaan, sih, Kay?” Syafa masih terus mengelak seraya merapikan kerudungnya.

“Kamu suka, 'kan, sama Gus Alkaf?” Entah sudah berapa kali Kayla mendesak Syafa untuk mengaku. Dia hanya sedikit takut dengan alasan temannya berubah. Jika karena Penciptanya, tentu Kayla tidak masalah. Akan tetapi, jika karena ciptaan-Nya, dia takut akan menjadi masalah bagi Syafa. Meninggalkan-Nya saat kecewa karena ciptaan-Nya.

“Oke, aku ngaku. Iya, aku suka.” Kalah. Syafa kalah. Pada akhirnya dia mengaku. Lagipula rasa ini bukan atas kehendaknya. Jika boleh memilih, dia tidak akan menjatuhkan hati pada laki-laki yang banyak dikagumi oleh kaum hawa di luar sana.

“Kamu berubah karena Gus Alkaf?” Kayla kembali bertanya.

“Enggak juga, Kay. Enggak sepenuhnya karena dia. Kalau di sini aku hidup nggak bahagia, seenggaknya aku pulang dengan bahagia. Kayaknya aku udah pergi terlalu jauh sampai lupa sama yang ngasih aku kehidupan. Barangkali dia takdirku, ya sekalian memantaskan diri,” terang Syafa. Perlahan dia akan meluruskan niatnya. Dia tahu, berharap kepada manusia peluang untuk merasakan sakit hatinya besar sekali.

“Oke. Aku nggak mau kamu salah langkah,” pesan Syafa.

It’s okay, Kay. Aku nggak bakal lupa jalan pulang lagi. Semoga.”

***

Semburat jingga di ufuk barat tampak indah di matanya. Seorang lelaki duduk di balkon lantai atas rumahnya. Memandangi langit yang perlahan mulai menggelap. Pikiran dan hatinya berkecamuk. Seolah ada seorang yang tengah mencoba mengetuk pintu hatinya dan memaksa untuk masuk. Gus Alkaf menyesap kopinya kembali.

“Gus Alkaf,” panggil Kang Hilmi.

“Kenapa, Kang?” Gus Alkaf menoleh ke arah sumber suara.

“Manggil aja, Gus. Hehe. Kirain njenengan ketiduran di sini. Sebentar lagi Magrib,” canda Kang Hilmi. Sebenarnya dia sedikit khawatir melihat putra kiainya yang sudah beberapa hari ini terlihat diam. Kedekatan Gus Alkaf dan Kang Hilmi memang sudah seperti saudara dan teman.

“Salma masih di rumah, Kang?” Gus Alkaf bertanya. Pasalnya adiknya itu semenjak haul menjadi sering sekali pulang pergi dari pondok pesantrennya ke rumah.

“Masih, Gus. Ning Salma lagi duduk sama Abah Kiai dan Bu Nyai di ruang tamu.” Kang Hilmi menjawab seraya duduk di samping Gus Alkaf, sedikit berjarak. “Sampean kenapa, Gus?” tanya Kang Hilmi selanjutnya.

“Bingung, Kang. Sebenernya saya suka sama siapa.” Gus Alkaf mengadu. Selain abdi ndalem yang sudah seperti teman dan saudara, Kang Hilmi pun seringkali menjadi tempat curhat bagi Gus Alkaf.

Belum sempat Kang Hilmi berucap angkat bicara, azan Magrib mengalun merdu. Gus Alkaf dan Kang Hilmi lantas bergegas turun. Hari ini Gus Alkaf diminta menjadi imam salat Magrib oleh abuyanya. Dia pun masuk kamar dan bersiap-siap.

Wajahnya yang putih semakin bertambah kadar ketampanannya saat wajahnya basah oleh air wudu. Gus Alkaf mengusap wajahnya, lalu membuka lemari dan mengambil koko biru dongkernya dan sarung hitam bermotif. Setelah memakainya, dia melangkah ke meja belajar dan mengambil peci hitamnya.

Gus Alkaf pergi ke masjid pondok bersama adik dan kakaknya. Pondok pesantren ini sebenarnya belumlah pondok pesantren besar. Nama Gus Alkaf yang melambung tinggilah yang ikut membawa nama pondok pesantren ini dikenal oleh banyak orang.

Gus Alkaf merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. Kakaknya, Ning Zahwa, sudah menikah. Jadilah dia ikut dengan suaminya yang juga memiliki tanggung jawab melanjutkan orang tuanya mengurus pondok pesantren. Kebetulan saat ini kakaknya sedang berkunjung ke rumah lantaran uminya yang sakit meminta untuk dijenguk setelah berkali-kali menolak untuk dijenguk.

“Allahu Akbar.” Suara takbir Gus Alkaf terdengar. Di antara saf makmum perempuan, ada satu hati yang kembali berdegup abnormal kala mendengar suara takbir Gus Alkaf. Akan tetapi, dia terus mencoba fokus.

***

“Assalamu’alaikum.”

Kedatangan Ning Khasna disambut oleh seluruh keluarga Gus Alkaf. Abuya, Umi, Ning Salma, Ning Zahwa beserta anaknya, dan Gus Alkaf sedang berkumpul di ruang tamu. Wanita di samping Ning Khasna pun terkejut. Dengan segera dia menetralkan raut wajahnya.

“Loh, Mbak Zahwa di sini,” ucap Ning Khasna terkejut, lalu menyalami Ning Zahwa dan beralih pada gadis kecil dalam pangkuannya. “Assalamu’alaikum, Cantik. Sini, gendong sama Mbak Asna,” ajak Ning Khasna. Namanya Nada, putri Ning Zahwa dan sang suami yang terpaksa tidak bisa ikut menemani.

Syafa sungguh bingung harus bagaimana. Untunglah Ning Salma mengajaknya untuk duduk. Lantas Ning Salma memperkenalkan Syafa kepada keluarganya. Bukankah ini seperti pengagum baru jalur VVIP? Baru beberapa hari mengagumi sudah diperkenalkan dengan keluarganya. Padahal di luar sana banyak yang sudah lebih dahulu mengaguminya dan dekat dengan kata pantas jika disandingkan dengan Gus Alkaf.

Sementara itu, Gus Alkaf sendiri lebih memilih diam. Kenapa takdir seolah selalu menuntunnya terlibat dengan Ning Khasna dan Syafa sekaligus? Apakah kedua wanita ini satu paket yang tidak bisa dipisahkan? Gus Alkaf bergidik ngeri. Dia tertawa dalam diam.

“Buya, Umi, Mbak Zahwa, ini namanya Mbak Syafa,” ucap Ning Salma.

Syafa pun menyalami semua yang ada dalam ruangan, termasuk Gus Alkaf yang hampir saja dia sentuh tangannya jika saja Gus Alkaf tidak menghindar. Syafa lantas mengucapkan maaf. Jujur saja, Syafa seperti ingin menghilang saja sekarang. Dia sungguh grogi. Terlebih melihat tatapan kakaknya Gus Alkaf.

Lagi pula, kenapa Khasna harus mengajaknya ke rumah Gus Alkaf, sih? Dia hanya ingin belajar agama dengan Khasna. Sudah, tidak lebih dari itu. Tidak ada dalam keinginannya untuk cari perhatian dengan Gus Alkaf. Dia belum siap. Masih akan kalah jauh.

“Temennya Alkaf, ya, Nduk?” tanya Umi Gus Alkaf.

Nggih, Umi. Temennya Al … Gus Alkaf sama Ning Khasna,” sahut Syafa membenarkan.

“Buya istirahat dulu,” pamit Abuya.

“Mau Alkaf antar, Buya?” Gus Alkaf menawarkan.

Mboten usah. Sampean teng mriki mawon,” tolak Abuya halus. Beliau pun masuk.

“Masyaallah, cantik-cantik sekali. Kasihan Alkaf jadi bingung mau milih yang mana.” Candaan uminya membuat Gus Alkaf tanpa sadar mendelik. Dia tidak menduga uminya akan berkata seperti itu.

“Pasti Ning Khasna, Umi,” celetuk Ning Zahwa.

Syafa melirik kakak Gus Alkaf itu. Sepertinya dia sudah mendapat tombol merah dari salah satu anggota keluarga Gus Alkaf. Dia dibandingkan dengan Khasna memang tidak ada apa-apanya, tetapi jika dia masuk sebagai seseorang yang disukai Gus Alkaf, setidaknya masih ada kesempatan untuknya bersaing dengan Khasna. Terdengar tidak waras mungkin, tetapi bahkan siapa yang biaa menerka dengan benar apa yang akan terjadi satu detik kemudian.

Mereka berbincang-bincang sejenak. Nada yang rewel pun diajak bermain oleh Syafa dan Ning Salma. Ning Khasna dan Ning Zahwa sedang berbincang dengan Umi. Hingga tiba-tiba Gus Alkaf datang dan mengajak berbincang Syafa dengan berbisik.

“Kamu ngapain ke sini?” Gus Alkaf bertanya dengan sedikit berbisik.

“Belajar agama sama Khasna. Biar masuk tipe kamu.” Syafa mengedipkan sebelah matanya.

BERSAMBUNG

Halo, semuanya. Terika kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca Istauda'tukallah.

Tegal,
30 Maret 2023
@najwawafzh_

Istauda'tukallahWhere stories live. Discover now