04 🔵 Terjebak

22 3 0
                                    

Syafa memandangi temannya yang terkulai lemas tak berdaya di dalam. Sudah sejak sekitar lima belas menit lalu mereka sampai di rumah sakit, Khasna belum juga sadarkan diri. Sampai saat ini dia masih berusaha mencerna suasana menegangkan yang terekam dalam pandangannya itu.

Diliriknya Gus Alkaf yang tengah duduk bersama Salma, adiknya. Syafa terlalu tidak memiliki keberanian untuk sekadar bertanya. Raut wajah laki-laki itu jelas sekali sedang tidak baik-baik saja. Syafa mencoba mengerti dan mengesampingkan rasa penasarannya.

Dari yang Syafa dengar, Gus Alkaf telah menelepon orang tua Khasna dan memberitahukan bahwa sang anak dilarikan ke rumah sakit. Akan tetapi, hingga saat ini, keduanya tidak kunjung datang. Syafa pun berjalan mendekati Salma. Meskipun sejujurnya dia merasa seperti orang asing di antara keduanya. Sungguh merasa sangat asing.

“Kamu mau makan sesuatu?” tanya Syafa berinisiatif. Matanya sempat menangkap Gus Alkaf melirik ke arahnya, tetapi dengan segera dia memalingkan pandangan.

“Enggak, Mbak Syafa. Aku nggak lapar,” tolak Salma. Matanya menyipit, memperhatikan wanita yang kini duduk di sampingnya itu setelah sedari tadi terus berdiri. “Mbak Syafa nggak mau ganti baju dulu? Biar Kang Hilmi yang anter,” tawar Salma.

Astaga. Syafa hampir melupakan dirinya sendiri kalau saja Salma tidak berkata seperti itu. Sepulang sekolah, tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu, Syafa langsung bergegas menuju rumah Khasna. Pikirnya tidak akan lama, tetapi rupanya kini dia berada di sini, bahkan hingga langit sudah hampir gelap.

Ingat bukan kejadian seorang ibu yang seolah mampu membaca tatapan mata Syafa? Selepas itu dia memilih berjalan kaki daripada meneruskan perjalanan menggunakan angkot. Entah bagaimana penampilannya kini. Mungkin sudah tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Jujur saja Syafa ingin menerima tawaran itu, tetapi dia merasa tidak enak. “Enggak usah. Nanti bentar lagi aku pulang, kok.”

Allahu Akbar … Allahu Akbar ….
Azan Magrib berkumandang. Syafa hanya celingukan tidak jelas. Sementara itu, Gus Alkaf mengajak mereka untuk salat berjamaah di musala rumah sakit. Usai Gus Alkaf berdiri, Kang Hilmi dan Salma pun menyusul berdiri. Sedangkan Syafa hanya diam tak beranjak.

Menyadari itu, Salma bertanya, “Mbak Syafa lagi halangan?”

“Enggak.” Singkat, padat, dan jelas Syafa menjawab.

“Sampean nggak mau ikut salat sekalian?” Gus Alkaf pun ikut bertanya.

“Aku nggak salat,” celetuk Syafa tanpa pikir panjang.

“Sampean mau saya salatin?”

“Heh?!”

***

“Jadi mereka pacaran? Aku kaget.”

“Enggak. Cuma sepupu katanya,” ralat Syafa.

“Sepupu bisa nikah, loh. Apalagi pacaran.”

“Udahlah, Kay. Kamu datang-datang langsung gibah.”

Saat ini mereka berdua sedang berada di rumah Syafa. Rumah yang sangat damai dan tenang. Karena terlalu sertaa kelewat tenang dan damai, kalau saja Kayla tidak di sini, hanya akan ada suara Syafa di rumah ini. Ayah dan ibunya merantau. Terlalu merantau hingga sepertinya lupa arah pulang. Sudah hampir dua tahun kedua orang tuanya tidak pulang. Hanya uang mereka yang datang selalu tepat pada waktunya.

Istauda'tukallahWhere stories live. Discover now