07 🔵 Pendekatan?

17 3 0
                                    

Pukul 11.49 azan Zuhur berkumandang dari spiker musala sekolah. Suara azan yang merdu menelusup masuk terdengar oleh seluruh penjuru sekolah termasuk Syafa yang sedang duduk meluruskan kakinya di depan kelas. Sejenak dia terdiam ketika sebagian penghuni kelas beranjak keluar kelas dengan menenteng mukena bagi siswi perempuan.

Tersisa beberapa saja, termasuk dirinya. Khasna sudah melenggang pergi ke musala sebelum azan berkumandang karena guru keluar lebih cepat dari bel istirahat. Sedangkan Kayla, entah dia pergi ke mana. Untuk kali ini Syafa tidak mengikuti jejak Kayla lantaran dirinya merasa penat. Hari yang buruk.

Syafa terdiam. Gerakan matanya seolah mewakili bahwa dia tengah memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat bergulat dengan isi pikirannya sendiri, Syafa pun beranjak. Kakinya terus melangkah berjalan tanpa ragu.

Tempat wudu wanita. Begitulah tulisan yang tertempel pada dinding bercat putih itu. Di sinilah Syafa sekarang. Fasilitas sekolah yang tidak pernah dirinya gunakan sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di sekolahnya ini.

Syafa memperhatikan gerak seseorang di sampingnya. Entah kapan terakhir kali dirinya menemui Tuhan dalam sujudnya hingga tata cara berwudu pun dia lupa urutannya. Bahkan apa saja yang harus dibasuh pun dia ragu. Dengan ragu-ragu dan meniru seseorang di sampingnya, Syafa pun selesai berwudu.

Seseorang menengadahkan tangannya usai berwudu. Layaknya makmum, Syafa meniru, tetapi tanpa tahu apa yang harus dirinya bica. Dia tidak ingat. Lantas, kakinya kembali melangkah memasuki musala. Dia pergi menuju lemari mukena, mengambil, lalu memakainya.

Dengan sedikit canggung, Syafa duduk di samping seseorang yang bahkan dirinya tidak mengenali orang itu. Sepertinya tidak seangkatan dengannya, melainkan adik kelas. Saat ikamah terdengar, dengan segera Syafa ikut bangkit dari duduknya.

Seperti anak kecil yang baru hendak diajarkan salat, seperti itulah dirinya sekarang. Meskipun pada kenyataannya dirinya sudah seorang mukallaf, bukanlah lagi seorang anak-anak. Takbiratulihram, saat kedua tangannya terangkat dan mulut melafalkan Allahuakbar, hatinya berdesir, seolah ada rasa yang telah lama menghilang, kini kembali hadir dalam relungnya itu.

Bola matanya bergerak ke kanan kiri, melirik sekitar. Sungguh selupa itu Syafa. Dia hanya ingat sedikit-sedikit. Mungkin jika diingatkan dia akan tahu dan cepat hafal lagi semua tentang salat. Saat orang-orang di sekitarnya membungkukkan badan, Syafa mengikuti, saat semua orang bersujud, dia pun mengikuti.

Saat jidatnya menyentuh sajadah, air matanya tanpa aba-aba luruh begitu saja. Tangannya pun menyeka bulir bening itu. Hingga sampailah dirinya di tasyahud akhir. Syafa bertemu kembali dengan dirinya yang dahulu. Dirinya yang taat, dirinya yang tidak membangkang terhadap Tuhannya seperti sekarang. Dirinya kini hanyalah seorang yang terlalu jauh melangkah berpaling dari Tuhan.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, sekali. Hampir tak terdengar.
Saat yang lain beranjak, Syafa masih tetap terdiam. Hingga Khasna yang terperangah melihat keberadaan temannya yang satu ini di musala pun menghampiri Syafa. Sudut bibirnya terangkat membentuk bulan sabit, dia pun datang merangkul Syafa.

“Masyaallah,” ucapnya. Syafa pun terkejut. “Udah mau sepi. Kabarnya kita pulang cepet hari ini. Mungkin bentar lagi bel pulang bunyi.”

“Kamu pulang duluan aja nggak apa-apa,” sahut Syafa mempersilakan.

“Enggak, sih, Syaf. Aku mau revisi proposal buat kegiatan rohis. Kalau begitu aku ke kelas duluan, ya,” ucap Khasna. Sesaat kemudian Syafa mengangguk dan Khasna melenggang pergi.

Di musala hanya menyisakan beberapa orang saja. Bel pulang berbunyi tepat sekali seiring kepergian Khasna barusan. Syafa belum ingin beranjak. Lagipula untuk apa dirinya pulang cepat. Tidak ada hal menarik untuk dirinya lakukan. Rumah baginya hanyalah tempat menutup mata. Tidur.

Laki-laki baik untuk perempuan yang baik. Sampai saat ini kalimat itu masih terus memenuhi isi pikirannya. Sebenarnya bukan karena maksud kalimatnya, melainkan karena seseorang yang entah kenapa akhir-akhir ini hadir menghuni isi pikirannya juga.

Jika sebelumnya ketika tengah malam bayang-bayang akan bagaimana masa depannya yang hadir, kini wajahnya yang melintas terbayang-bayang dalam isi pikiran Syafa. Sungguh sangat tidak selaras dengan apa yang dirinya ucapkan. Dia tidak akan mengaguminya. Tidak akan. Meskipun hatinya ingin.

Netranya menelusuri sekitar dan menangkap seseorang yang sedang diperbincangkan serta diperdebatkan oleh hati dan pikirannya. “Alkaf!” Pemilik nama itu menoleh. Syafa pun bergegas melepas mukena dan membiarkannya begitu saja.

“Tunggu sebentar,” pinta Syafa.

“Kenapa? Saya mau ada rapat,” sahut Gus Alkaf melihat sekitar. Akan tetapi, dirinya terlihat lebih santai daripada sebelumnya. Padahal katanya akan ada rapat.

“Rapat rohis sama Khasna?” tebak Syafa, dan benar saja tebakannya. Gus Alkaf mengangguk membenarkan.

“Ehm, aku harus panggil … gus?” tanya Syafa denhan ragu.

“Senyaman kamu aja,” jawab Gus Alkaf mempersilakan dengan pandangan lurus ke depan. Dia tidak menatap Syafa.

Sementara itu, Syafa terdiam. Lidahnya kelu, bibirnya terkatup rapat. Ribuan kosakata seolah meluap entah kemana. Terciptalah hening di antara keduanya. Gus Alkaf tidak tahu harus berkata apa selain pergi jika hanya hening yang tercipta. Sedangkan Syafa, dirinya yang memanggil Gus Alkaf pun sebenarnya tidak tahu akan berkata apa. Tiba-tiba saja mulutnya secara spontan memanggil lelaki yang kini di sampingnya itu.

“Kalau nggak ada yang mau dibicarakan, saya pergi.” Pada akhirnya Gus Alkaf yang terlebih dahulu angkat suara.

“Menurut kamu, apa gus harus menikah dengan ning?” Gus melirik ke arah Syafa sejenak. Dia cukup terkejut dengan pertanyaan Syafa yang spontan itu.

“Enggak.” Gus Alkaf menjawab dengan singkat.

“Kalau gitu, kamu mau menikah dengan siapa?” Pertanyaan di luar dugaan kembali terlontar dari mulut Syafa.

Lagi-lagi Gus Alkaf dibuat terkejut. Bahkan mereka belum terlalu lama menginjak usia tujuh belas tahun. Gus Alkaf kira manusia sekarang tidak hanya berorientasi pada pernikahan. Apalagi mereka yang sudah mengenyam pendidikan formal sampai tahap menengah atas yang Gus Alkaf pikir akan menaruh banyak harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan mereka lebih tinggi lagi.

“Dengan pilihan orang tua saya.” Jawaban yang membuat Syafa sedikit tersentak.

“Dijodohkan?” Gus Alkaf menggeleng. “Wanita yang kamu suka?” Lagi, Gus Alkaf kembali menggelengkan kepalanya.

“Kalau nggak ada wanita yang saya sukai, saya akan menerima perjodohan.”

“Kalau ada?” Syafa mendekatkan dirinya dengan dengan Gus Alkaf, tetapi yang didekati justru semakin menjauh dengan menggeser posisi duduknya.

“Wanita yang saya suka bersaing dengan wanita yang dijodohkan orang tua saya,” jawab Gus Alkaf, membuat Syafa membelalakkan matanya.

“Serem amat,” celetuk Syafa lirih.

“Sudah? Saya buru-buru.” Gus Alkaf hendak beranjak dari duduknya tetapi dicegah oleh Syafa.

“Sebentar. Tipe cewek kamu apa?” Iya, pertanyaan ini terlontar dari mulut yang pernah berucap untuk tidak menjatuhkan hati dan mengagumi kaum adam yang satu ini  Syafa! Tolong sadarlah. Jangan sampai menjilat ludah sendiri.

“Wanita baik-baik yang taat dengan perintah Allah.”

“Oke, tunggu aku.”

BERSAMBUNG

Halo, semuanya. Terika kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca Istauda'tukallah. Syaf? Kamu nggak lagi kenapa-kenapa, 'kan?

Tegal,
29 Maret 2023
@najwawafzh_

Istauda'tukallahWhere stories live. Discover now