03 🔵 Tertangkap Basah

24 4 0
                                    

Syafa merebahkan kepalanya pada meja, tangannya menggenggam ponsel yang dimiringkan tepat menghadapnya. Jemarinya dengan lincah menggulir layar benda pipih itu, menampilkan foto-foto unggahan tokoh publik. Hari ini sudah pasti Kayla tidak masuk dan sebandelnya Syafa, tetaplah Kayla pelopor kebandelannya itu. Hari ini mungkin dia hanya akan diam, tak berulah, menjadi baik.

Di tengah aksinya berselancar pada media sosial, jemarinya mengeklik ikon pencarian, lantas mengetikkan huruf per huruf hingga terangkailah nama seseorang. Wi-Fi di sekolah memang cepat jika tidak lambat. Sayangnya lebih sering lambat. Kemungkinan besar cepat hanya saat bel pulang telah berbunyi dan para murid berangsur pulang.

Deretan nama pengguna serupa membuatnya harus mengecek satu per satu. Akan tetapi, untunglah, tidak harus mengecek satu per satu, Syafa telah menemukan apa yang dirinya cari. Akun publik. Syukurlah. Dengan hati-hati Syafa menggulir unggahannya satu persatu. Berharap tidak ada hati yang muncul karena jemarinya.

Tidak banyak unggahan. Hanya saat dia bersama teman-temannya, beberapa orang yang sepertinya seumuran dengan ayahnya, foto dengan keterangan ibunya meskipun wajahnya ditutupi bunga, dan foto bersama teman Syafa, Khasna.

“Assalamu’alaikum.”

Syafa terperangah ketika netranya menangkap sesosok yang datang. Pemilik akun yang sedang dirinya stalk berapa tepat di depan pintu. Ketika orang lain dalam kelas menyahut salamnya, Syafa hanya mampu terdiam. Seperti tertangkap basah. Dengan cepat dirinya mematikan ponsel.

“Mbak Syafa.”

“Hah? Kenapa?”

Dia berjalan masuk, selangkah demi langkah semakin mendekat. Syafa kini memasukkan ponselnya di laci meja. “Ada titipan surat dari Ning Khasna.”

“Eh? Khasna kenapa?” Dengan cepat Syafa menetralkan raut wajahnya seraya mengambil alih surat dari tangan Gus Alkaf.

“Sakit. Terima kasih. Wassalamu’alaikum.”

Sudah? Dia beranjak pergi begitu saja. Syafa dibuat melongo karenanya. Dia alergi dengan Syafa? Saat di jalan, katanya dia buru-buru. Saat di depan kamar mandi, dia terkejut. Lalu sekarang, dia seolah menghindar.

“Syaf, nggak usah kaget gitu kali disamperin Gus Alkaf,” celetuk salah satu teman kelasnya.

“Dia nyata, ya?” Kaget bagian … entahlah, Syafa terus-menerus dibuat terperangah.

“Nyata, tapi nggak untuk dimiliki.” Lah, kok … curhat?

“Gila kali. Siapa juga yang pengin memiliki.”

***

“Mas Alkaf, Mbak Asna demamnya tinggi banget. Mas Alkaf bisa pulang nggak nganter Mbak Asna ke dokter?” Suara di seberang sana beradu dengan penjelasan guru yang bahkan terdengar hingga luar ruang kelas.

“Kan, ada kang pondok, Sal. Minta tolong dianter. Mas Alkaf masih sekolah, masih lama pulangnya.” Gus Alkaf menghela napasnya.

“Udah, tapi Mbak Asnanya nggak mau. Barangkali dibujuk sama Mas Alkaf jadi mau. Bude sama pakde lagi nggak di rumah.” Adiknya memang terkadang terlampau baik, hingga memaksanya merubah jadwalnya yang telah ada.

“Sama mbak ndalem,” perintahnya, lagi.

“Udaaah. Mbak Asnanya nggak mau.” Salma terdengar geram dengan kakaknya. Apa susahnya pulang. Bahkan jarak pondok dengan sekolah tidak terlalu jauh.

“Ya udah kalau dianya nggak mau. Nggak usah dipaksa,” ucapnya santai.

“Mas Alkaaaf. Astagfirullah. Abuya sama umi nggak ngajarin gitu, ya. Pulang cepetaaan.” Secara sepihak Gus Alkaf memutuskan sambungan telepon. Lagi-lagi dia menghela napas. Sulit sekali memahami wanita, pikirnya.

Istauda'tukallahWhere stories live. Discover now