06 🔵 Aneh

15 3 0
                                    

Syafa terduduk di tepian kasur, sembari mengusap wajah dengan handuk kecil. Netranya menelisik sekitar. Sunyi sekali rumah ini. Dia pun beranjak, lantas mengambil sebuah buku yang sudah terlihat usang di laci meja belajarnya dan kembali duduk.

Jemarinya tergerak membuka setiap lembar demi lembar buku itu. Dia tersenyum, membaca segala hal yang diinginkannya yang telah dirinya tulis sejak bertahun-tahun silam. Akan tetapi, rupanya Tuhan tidak mewujudkan satu pun keinginannya. Dia marah.

Bahkan, alur kehidupan membawanya di sini sendirian. Orang tuanya telah bercerai dan memilih menjalani hidup mereka masing-masing sejak dua tahun lalu. Sedangkan Syafa, sebagai anak semata wayang, dia lebih memilih hidup sendiri. Menjalani kehidupan sederhana bersama neneknya yang rupanya telah dirindukan oleh Tuhan. Hingga pada akhirnya dia benar-benar sendiri.

Syukurnya, Tuhan mengirim Kayla dan Khasna untuknya. Di saat kedua orang tuanya yakin uang dari keduanya mampu memenuhi segala kebutuhan Syafa, tetapi hanya kedua temannya itu yang mampu menemaninya. Sungguh, kesalahan seperti apa yang telah dirinya perbuat hingga takdir berpihak demikian kepadanya.

Kling! Sebuah notifikasi pesan menyadarkan lamunannya. Syafa menutup buku itu dan beralih membuka benda pipih di sampingnya itu. Sebuah pesan dari Kayla. Dia pun membukanya. Meskipun Kayla kebanyakan tidak jelasnya.

[ Gus Alkaf ganteng banget, ya, Syaf. ] What?! Tiba-tiba? Tuh, kan! Aneh.

[ Ngelindur, Kay? Kalau tidur baca doa dulu! ] Syafa membalas dengan sedikit rasa kesal.

Padahal laki-laki itu sejenak telah enyah dari pikirannya, tetapi kini kembali berputar-putar. Huh, Gus … Alkaf? Dia sebenarnya cukup misterius. Syafa sempat kesal karena Gus Alkaf seringkali seolah menghindar saat dia menghampiri. Padahal tidak ada niatan lain. Catat, Syafa bukan pengagum fanafik Gus Alkaf. Namun, di lain waktu, dirinya heran saat melihat dengan mata kepalanya sendiri Gus Alkaf berperilaku sedikit … manis dan manusiawi terhadap Khasna.

Aaa, cukup! Entah karma atau bukan, sudah beberapa hari ini Gus Alkaf menghantui pikirannya. Oke, Syafa mengakui itu. Akan tetapi, dia tidak menyukainya. Hanya saja kenapa harus bayang-bayang Gus Alkaf yang melintas pada setiap tengah terdiam.

Sudah. Daripada terus memikirkan kaum adam yang satu itu, lebih baik Syafa pergi ke alam mimpi. Besok Senin. Kenapa hari libur berlalu sangat cepat? Bahkan dirinya masih harus memikirkan tugas. Ya, walaupun lebih sering tidak mengerjakannya.

***

“Assalamu’alaikum.” Suara salam seseorang yang terdengar tidak asing menyapa indra pendengaran Syafa dan Kayla yang sedang berselancar di media sosial.

“Khasnaaa. Udah baikan?” teriak Kayla yang segera memalingkan wajah dan mendapati temannya itu di ambang pintu.

“Alhamdulillah, udah.” Khasna menjawab seraya duduk di bangku depan keduanya.

Syafa ikut senang, tetapi dia tetap diam. Netranya salah fokus. Bukannya menatap Khasna, dia justru menangkap seseorang yang bahkan hanya terlihat rambut dan matanya dari balik jendela kelas. Hingga sikutan tangan Kayla berhasil membuyarkannya.

“Na, sama siapa tadi?” tanya Syafa tiba-tiba.

Khasna menoleh ke arah pintu. “Hah? Kamu lihat?”
“Tadi kayak ada cowok di belakang kamu.” Syafa ingin menuntaskan rasa penasarannya.

“Tadi … Gus Alkaf. Bukan apa-apa, kok. Umi yang nyuruh. Katanya takut aku tiba-tiba pingsan. Padahal aku sebenernya nggak mau sebegitunya,” sahut Khasna menjelaskan. Dia tidak ingin tersebar cerita-cerita tidak benar mengenai dirinya dan Gus Alkaf. Syafa hanya mengangguk-angguk dan tersenyum samar.

Berbeda dengan reaksi Kayla yang heboh. “Hah, yang bener aja. Aduh, nggak bisa. Itu terlalu manis. Udah kayak cerita Wattpad aja, Na. Ya ampun, aku iri.”

“Ya Allah, ngapain iri, sih, Kay? Kamu mau tukeran posisi sama aku?” tawar Khasna sembari tertawa kecil.

Tentu saja Kayla bersedia dengan senang hati. “Pasti mau. Siapa yang nggak mau deket sama Gus Alkaf. Udah ganteng plus segalanya,” puji Kayla.

“Aku aja capek sama Gus Alkaf, Kay,” ucap Khasna terdengar lirih. Ungkapan itu pun mengundang rasa penasaran Kayla dan Syafa yang sudah bersiap pasang telinga mendengar.

“Sejak pindah di sini, tambah banyak yang suka sama Gus Alkaf, kan.” Ucapan Khasna terpotong karena Syafa menyelanya.

“Kamu cemburu?” Khasna berhasil dibuat kelabakan dengan pertanyaan Syafa.

“Hah? Eng-enggak, Syaf. Aku capek aja. Padahal kita teman sejak kecil dan ki–“

“Kalian pacaran?” Lagi, Syafa menyelanya.

“Apa, sih, Syaf? Kita sepupu. Sejak Gus Alkaf pindah, dia jadi banyak dikenal orang lagi, bahkan sekarang lebih luas. Kalau ada yang ngelihat Gus Alkaf sama aku, pasti aku langsung dihujat yang enggak-enggak.” Khasna berhasil mencurahkan isi hatinya.

“Walaupun aku cemburu juga, tapi kalian cocok, sih. Ya, gus dan ning. Mau nyari perbedaan apalagi, ya, 'kan. Iya enggak, Syaf?” Kayla beralih melontarkan pertanyaan pada Syafa.

Bukannya menjawab, Syafa justru pamit pergi. “Hm? Aku ke kamar mandi dulu. Kalau keburu masuk izinin ke gurunya, ya.” Setelah itu Syafa melenggang pergi.

Aneh. Syafa aneh. Syafa merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia merasa tidak suka dengan pembicaraan barusan. Padahal pernyataan Kayla tentu tidak ada yang salah. Mau dicari letak ketidakcocokan keduanya pun mungkin tidak akan ketemu.

“Aduh!” Syafa menabrak seseorang. “Bapak!”

“Kamu mikirin apa, sih, Syaf. Pagi-pagi begini sudah ngelamun. Untung buku-buku bapak nggak jatuh,” omel guru yang tidak sengaja ditabrak oleh Syafa.

“Bapak, sih, pagi-pagi udah mau masuk kelas. Padahal belnya belum bunyi,” sahut Syafa dengan beraninya. Sungguh sangat menimbulkan tanya dalam benak Syafa. Kenapa guru matematikanya yang satu ini sangat rajin masuk kelas. Pernah, sih, terlambat masuk kelas. Satu menit setelah bel berbunyi.

“Masuk kamu! Masih pagi udah mau bolos aja,” gerutu Pak Bejo. Syafa adalah salah satu murid yang sudah melekat dalam ingatannya karena sering bolos jam pelajarannya.

“Enggak, Pak. Saya mau ke kamar mandi tadi,” elak Syafa.

“Saya sudah tidak percaya sama omongan kamu lagi,” tegas Pak Bejo. Beliau ini memang terkadang baik dan terkadang terlihat galak.

“Saya juga nggak percaya sama omongan cowok lagi, Pak.” Syifa mengadu. Tentu yang seperti Syafa ini tidak baik untuk dicontoh. Meskipun ucapannya benar. Eh!

“Kamu, kok, malah curhat. Udah, masuk-masuk.” Pak Bejo langsung mengarahkan Syafa untuk putar balik. Terpaksa Syafa menyerah.

***

Jam pelajaran kedua masih kurang sebelas menit lagi. Syafa duduk bersandar di luar kelas. Syafa dan beberapa teman satu kelas lainnya tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran Pak Bejo karena belum mengerjakan pekerjaan rumah. Pak Bejo galak mode on. Sangat membosankan.

Syafa hanya diam sedari tadi. Tidak ada yang bisa dirinya lakukan. Akan tetapi, kedatangan seseorang yang secara tiba-tiba cukup mengejutkannya. Para siswi lain yang berada di tempat bersamanya pun sontak memusatkan perhatian ke arah Syafa.

“Ini, air minum.” Gus Alkaf si menyebalkan tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba saja datang dan menyerahkan sebotol air mineral untuk Syafa.

“Nggak usah, Kaf. Eh, Gus.” Syafa salah tingkah.

“Tolong diterima. Saya titip buat Ning Khasna. Ini sekaliat obat dia ketinggalan,” ucap Gus Alkaf sembari menyerahkan plastik kecil berisi obat-obatan juga.

Bagaimana?! Jadi, bukan untuk Syafa? Syafa, tolong lain kali jangan terlalu percaya diri! Syafa merutuki dirinya sendiri. Dia menangkupkan kedua tangannya dan menutup muka. Rupanya, percaya diri terkadang tidak baik.

BERSAMBUNG

Halo, semuanya. Terika kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca Istauda'tukallah. Kasihan Syafa kepedan.

Tegal,
27 Maret 2023
@najwawafzh_

Istauda'tukallahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang