07

1 2 0
                                    

*
*
*

Rumah itu terasa sepi. Selepas makan malam, Neylan akan langsung belajar di kamarnya. Meski agak jahil, tapi jangan ragukan prestasi anak itu di sekolah. Tentu saja buruk meski ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Toh, poin plus nya hanya datang dari tugas yang dikerjakan tepat waktu. Bahkan ketika hendak ujian saja, anak itu malas membuka buku. Rutinitasnya di sekolah adalah mengganggu para murid, entah itu teman sekelas atau adik kelas.

Si kembar Haella dan Haelyn akan langsung membenarkan posisi untuk tidur. Aku tak akan pernah membiarkan mereka kekurangan waktu istirahat satu menit pun! Jadi dengan pembiasaan itu, mereka akhirnya bisa bergerak sendiri untuk tidur tanpa harus kutangkap dan lakukan sesuatu yang mengundang kantuk mereka.

Airell? Anak itu biasanya akan membaca buku atau bermain video game sampai aku selesai dengan semua pekerjaanku. Ia selalu beralasan tidak akan tidur sebelum aku tidur. Dasar penakut! Padahal kenyataannya, ia akan terlelap bahkan sebelum genap tiga menit kami berada di kamar. Ia membiarkan satu kamar melompong tanpa penghuni sejak awal kami bernaung disini.

Sedangkan Ellian...entahlah, ia langsung pergi ke lantai dua begitu selesai dengan makanannya. Tidak seperti biasa dimana ia akan menghabiskan beberapa menit bersama Airell dan baru kembali ke kamar segera setelah aku menegurnya karena sudah melewati jam tidur. Ia bahkan tak mengatakan apapun yang menjadi alasan langkahnya menuju kamar. Biasanya bila itu adalah tugas sekolah, ia akan melapor padaku untuk membantunya dan otomatis pekerjaan malam dengan piring dan gelas dialihkan pada Airell. Anak itu hanya menyimpan pekerjaan yang menurutnya sulit untuk malam hari, sisanya sudah diselesaikan sebelum bermain atau aktivitas lain.

Sikap tak biasa tersebut sebetulnya sudah kusadari sejak awal, tapi aku tak bisa langsung mengatakannya di depan tiga termuda. Itulah mengapa aku menarik tangan Airell agar tidak segera berlalu menuju ruang tengah melainkan mengurus kekacauan yang kami buat di dapur.

Meski dengan wajah tak ikhlas, tapi Airell tetap menyetujui arahanku. Sepertinya ia juga melihat kejanggalan dalam raut Ellian ketika pergi tadi karena tak ada lagi pertanyaan yang terlontar padahal alasanku mengalihkan tugas hanya karena akan melihat Ellian di kamarnya.

Belasan anak tangga kulewati sebelum akhirnya sampai di depan pintu kamar adik tertuaku, setelah Airell tentunya. Awalnya aku berniat mengetuk namun urung karena suara isakan pelan yang kudengar dari dalam.

"K-kak Asiel?!"

"Apa yang terjadi padamu?"

"Tidak ada, hanya masalah kecil"

Aku membuka pintu lebih lebar untuk akses masuk dan menempati posisi tepat disebelah adikku itu.

"Sekecil apa masalahnya? Biarkan kakak mengetahuinya juga"

Bukannya menjawab, anak itu malah kembali menangis ketika tanganku menyentuh bahunya. Memang sedikit sentuhan bisa membuat pilu ketika emosimu sedang sensitif. Dan aku tak bisa tak membawanya ke dalam pelukan meski itu bisa membuat tangisannya semakin keras. Meski akan terdengar ke kamar disekitarnya, tapi aku tahu mereka akan mengesampingkan rasa penasaran sendiri untuk privasi orang lain. Aku juga tak takut si kembar akan terbangun dari tidurnya setelah tahu seberapa lelap mereka ketika tidur. Mereka hanya akan bangun jika waktu istirahatnya sudah tercukupi.

"Kak, salahkah seorang anak yang besar tanpa orangtua?"

Jantungku serasa berhenti bekerja. Akar permasalahannya sangat amat kupahami. Memang itulah resiko terberat yang harus kami alami meski tidak wajib terjadi.

"Jangan pedulikan apa kata mereka selama kau bahagia dengan apa yang kau jalani"

"Tapi mereka mengatai mama yang tidak-tidak"

"Mereka tak tahu kenyataannya 'kan? Orang yang asal bicara tak pernah tahu kebaikan apa yang dilakukan oleh bahan pembicaraannya"

"Tak ada yang mau mendengar penjelasanku"

"Kebenaran akan tenggelam pada awalnya. Jika mereka tak juga pernah mau bersabar dan membuka telinga, itu artinya kau yang perlu diam. Bukan karena kalah, tapi menunggu kemenangan itu datang dengan sendirinya."

"Ia akan datang?"

"Pasti! Kebaikan itu bukan selalu tentang membela, tapi juga bersabar dan memaafkan. Lebih bagus kalau kau bisa melupakan"

"Dilupakan?! Tapi mereka sudah sangat keterlaluan!"

"Itulah mengapa melupakan menjadi level kekuatan tertinggi setiap manusia"

Wanna See That With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang