09

2 1 1
                                    

*
*
*

Aku berjalan tergesa-gesa mengikuti emosi menuju salah satu ruangan sekolah. Tidak, itu sama sekali bukan kelas karena siswa yang kutuju sedang menjalankan hukuman. Tapi juga salah jika kalian mengira tempat itu adalah gudang.

Lokasi pembayaran kesalahan itu sudah di depan mata. Persis ketika targetku membuka pembatas ruangan tersebut. Sepertinya ia baru selesai mengerjakan tugas.

Meski aku tak tahu apa yang membuatnya terkurung disana selama jam istirahat. Tapi satu hal yang kuyakini adalah bahwa hutang itu sama sekali tak berhubungan dengan tujuan utamaku menemuinya.

Tak peduli ia lebih tua dan lebih tinggi, aku tetap mendorongnya kembali. Ia tak melawan, melainkan meladeni langkahku yang membuatnya terpojok oleh dinding.

Mustahil makhluk sejenisnya merasa takut hanya dengan sekali gertakan, terutama jika ia memiliki kekuasaan usia dan nomor tubuh. Buktinya, ia dengan sombong menatapku remeh mengira aku akan segera ciut dan berlari terbirit-birit. Nyatanya itu hanya merangsang emosi sehingga suhu tubuhku lebih dari standar.

"Apa yang kau katakan pada kakakku?"

Anak itu menaikkan sebelah alisnya tanda tak paham. Tapi sepersekian detik kemudian ia membentuk bulat bibirnya dan tertawa. Entah apa yang lucu.

"Jadi kau saudaranya si pecundang itu? Dasar tukang ngadu!"

"Aku tak memerlukan penjelasan verbal untuk menghadapimu seperti ini"

"Jadi dia mengirim telepati padamu? Hu...menakutkan! Apa selanjutnya ia akan mengirim rudal padaku?"

Lagi-lagi tawa menyebalkan itu mengisi gendang telingaku

Tak butuh waktu lama untuk melihatnya berlutut memegangi perut. Dengan bangga kudeklarasikan kalau aku yang melakukan.

"Kau bocah kurang ajar!"

"Kau mulut sampah!"

Baiklah, kuakui tatapannya memang mengerikan, tapi itu tak cukup membuat keberanianku ciut. Meski satu dorongan saja mampu membuatku terlempar, tak ada kata mundur selama kakiku masih bisa digunakan untuk berdiri.

Kami saling menguji kekuatan otot lengan dan kecepatan menghindar untuk beberapa saat sampai aku berhasil menjatuhkannya. Sejauh ini belum ada lebam ataupun luka di tubuh siapapun, jadi aku akan memulainya.

"Kau tak boleh melakukan kekerasan untuk melawan ucapan, anak hebat harus bisa memaafkan"

"Tak apa jika kata-kata itu ditujukan padaku, tapi kak Ellian dibuat menangis olehnya. Lagipula, ia membawa-bawa mama dalam anak panahnya."

"Ellian hanya shock, dalam sekejap ia sudah bisa mengendalikan pikirannya. Kau tahu? Apa yang kau lakukan sama sekali tak menyelesaikan masalah, melainkan menambah masalah."

"Maaf...jadi bagaimana dengan kak Ellian?"

"Dia akan menjaga dirinya sendiri. Jangan khawatir, selama pikirannya jernih ia selalu tahu apa yang harus dilakukan"

Salah Asiel karena tidak menutup pintu dengan rapat malam itu, sehingga percakapan mereka mampu terdengar oleh penghuni lain, seperti Neylan misalnya. Anak itu tak pernah bisa membiarkan siapapun menyakiti orang terkasihnya. Bagus ia tak menguasai seni bela diri apapun atau pembuat onar itu akan langsung menjadi pasien rumah sakit setelahnya.

"Bagus pembelaanmu! Itu baru didikanku!"

Entah darimana asalnya, Airell langsung masuk ke kamar Neylan dan merangkul adiknya itu. Meski terkejut, ia tetap berusaha mengapresiasi kakaknya yang berusaha menghibur dengan sedikit senyuman meski rasa bersalah masih tercetak disana. Asiel tak pernah gagal membuat adiknya menyesal.

Mencoba melirik kembarannya, ia gelagapan mendapati tatapan tajam disana meski hal itu sudah diperkirakan sebelumnya. Ketika manik mereka bertemu lagi, Asiel menggerakan rahang sebagai isyarat supaya adik kembarnya segera keluar dari kamar itu.

"Ah, sudah lewat! Mimpi indah, Neylan!"

Anak itu sama sekali tak merasa risih dengan kecupan sang kakak di pucuk kepalanya. Ketika ia mendongak, kedua saudara kembar itu berlalu keluar dengan pancaran kemarahan di mata yang lebih tua.

Sepertinya bukan hanya aku yang melakukan kesalahan hari ini

Wanna See That With YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora