31

0 1 0
                                    

*
*
*

"APA YANG KAU LAKUKAN?"

"CEPAT LEPASKAN KAMI!"

"SIAPA KAU SEBENARNYA?"

"KAU BURONAN!"

"PEMBOHONG!"

Aku sedari tadi berusaha sabar mendengar setiap teriakan dan umpatan lima remaja di sisi lain ruangan ini. Tapi kata terakhir dari salah satu gadis yang tak kukenal namanya membuang kesabaranku hingga tandas.

Tumpukkan kotak kayu yang sedari tadi kupakai duduk ditinggalkan begitu saja. Belati tajam hasil diasah tampaknya siap menjalankan tugas.

"Bisa kau ulangi sekali lagi, gadis manis? Kau panggil aku apa? Pembohong?"

Aku melempar wajah gadis itu ke samping dengan cukup kuat. Mungkin ia akan terjatuh kalau saja aku tidak merapatkan tubuhnya dengan kursi menggunakan tali. Tidak, semua remaja disana kurekatkan dengan kursi dalam garis vertikal.

"Perlu kalian ketahui kalau Yeona–wanita yang kalian percaya dan anggap baik–bukan malaikat sama sekali. Ia adalah seorang penipu handal yang berhasil menyembunyikan rahasia selama belasan tahun."

"Ia melakukan itu untuk suatu kebaikan"

"Kalau kau tetap bersikeras menganggapnya pahlawan, mari beralih pada kakak kalian. Apa dia juga sama baiknya setelah mendorong kalian ke dalam jebakan ini, Airell?"

"Bukan itu niat awalnya! Ia hanya ingin kami bahagia dengan kehidupan yang lebih layak bersama keluarga lengkap. Kau yang memupuskan harapan itu!"

"Meski begitu, ia tetap meninggalkan kalian 'kan?"

"Ia pergi untuk satu tujuan pasti dan akan kembali setelah semuanya selesai"

"Ibu kalian juga berkata demikian, tapi apakah ia menepati kata-katanya?"

"Kami akan bertemu dengannya andai kau tidak menemukan kami"

"Begitukah menurutmu, anak manis? Bagaimana kalau sebetulnya Asiel mengikuti jejak mama kalian?"

"Kak Asiel tidak pergi! Ia sedang dalam perjalanan kemari, aku bisa merasakannya!"

"Jadi dia menggugurkan impiannya? Dasar bodoh! Tapi sebelum kalian bahagia, biarkan aku dulu yang merasakannya!"

Agak menyesal menunggu mereka tersadar dari alam bawah sadar. Kukira bisa langsung bersenang-senang tanpa harus beradu argumen dengan lima remaja ini. Tapi sekarang aku bisa kembali ke rencana awal, menyaksikan wajah ketakutan sambil menikmati setiap goresan.

Dimulai dari remaja yang berada paling dekat denganku, Airell. Ia lebih banyak berbicara diantara saudara-saudaranya yang lain. Jadi biar kuberi pelajaran pada pita suara anak itu. Mengangkat dagu dan menggores bagian depan lehernya. Betapa menyenangkan ketika korban tak bisa melawan melainkan memberi apa yang kuinginkan, erangan kesakitan.

Cukup sampai cairan kental mengenai pakaiannya, aku beralih pada pemuda dengan tatapan tajam disebelah korban pertama, Neylan. Lihat betapa menyebalkan manik gelapnya itu. Perlukah aku membuatnya buta? Jawabannya, tidak! Cukup buat beberapa luka di sekitar alis kirinya dan ia takkan berani membuka sebelah mata sebelum air terjun itu disumbat atau mengering.

Lanjut pada gadis yang tampak pucat bahkan sebelum aku menyentuhnya. Pasti itu karena kondisi kedua kakaknya saat ini. Tak yakin apakah ia Haella atau Haelyn, tapi ia berhasil membuatku tergelak karena ekspresi ketakutannya.

Sengaja kulewati gadis tersebut karena rasa sakit akan lebih dominan ketika takut dan kalut menguasai seluruh ruang emosi. Sekarang giliran bocah dengan wajah tenang dan dagu terangkat. Ellian tahu bagaimana cara menantangku dalam permainan.

Tak banyak yang kuperbuat untuk menghancurkan wajah tampannya. Empat goresan di batas rahang yang tajam itu rasanya cukup asalkan ringisan menahan perih mewarnai rungu.

"Kau bajingan!"

Aku mengangkat sebelah alis kemudian tertawa

"Kau yakin tak mau menarik kembali dua kata itu? Kau tahu apa yang selanjutnya akan terjadi padamu?"

Aku bisa saja menusuk jantungmu sekarang juga, gadis bodoh!

Ia tak lagi menjawab kalimatku meski nafasnya masih terdengar memburu. Selagi kubiarkan ia meredam emosi, biarkan pisau ini bermain dengan kembarannya yang masih utuh. Gadis yang sengaja kutempatkan di tengah ini cukup mudah. Ia memakai kaus dengan bahu longgar sebagai kanvas untuk mahakaryaku.

"Y untuk Yeona dan A untuk Asiel, dua makhluk bodoh yang sayangnya menjadi pilar kalian untuk bersandar, ck..."

Bukan tanpa alasan aku tidak membuat mereka meregang nyawa, tapi tentang seberapa menyenangkan melihat orang lain kesakitan dan yang lainnya ketakutan. Lagipula, mereka bisa membuatku puas dan senang untuk beberapa hari kedepan daripada langsung mati saat itu juga.

"Kau tak akan mendapat siapapun lagi dari keluargamu, papa!"

Wanna See That With YouWhere stories live. Discover now