16

2 1 0
                                    

*
*
*

"Apa yang terjadi padamu?"

"Maaf, kak..."

"Kenapa meminta maaf padaku?"

"Maaf karena tidak memberi tahumu kelanjutan kasus perundungan itu"

"Ini bayaranmu?"

"Iya"

Ia menghela nafas, tampak lelah. Adegan di kantin tadi rupanya terlihat oleh Asiel yang baru sampai untuk mengantar temannya. Atensi seluruh kantin tentu terpaku padaku yang terus menunduk. Si pelaku sudah meninggalkan kantin, tapi tak satupun menghampiri untuk membantu melainkan berbisik dengan temannya atau hanya menatap miris kearahku. Selain Asiel tentunya.

Kakak kembarku itu langsung menarikku dari sana dan disinilah kami sekarang, taman samping yang cukup sepi dari para penggosip.

"Kau punya hak untuk tidak bercerita padaku selama kau merasa bisa melakukannya sendiri. Aku hanya perlu penjelasan soal kondisimu sekarang."

"Kurasa aku tidak bisa melakukannya sendiri"

"Kenapa begitu?"

"Entahlah, rasanya mustahil jika ia membiarkanku lolos begitu saja"

"Kau takut dengan tantangannya?"

"Bukan takut, tapi tak siap"

"Kau punya beberapa menit untuk itu"

"Tidak, tidak akan secepat itu"

"Waktunya akan cukup, ayo lakukan bersamaku!"

Aku melirik kearahnya. Senyum simpulnya seolah ribuan kata semangat yang tak tersurat. Rasanya selalu sama, hangat.

"Kak, menurutmu apakah aku akan tetap melakukan ini jika mama ada bersama kita?"

"Tergantung apa yang kita punya. Mama bisa saja bekerja keras untuk menebusmu. Tapi kenyataannya papa yang kita miliki tidak seberuntung itu."

"Jadi?"

"Ada bagusnya kita tidak bersama mama yang berarti tak ada papa dan tak ada hukuman yang lebih berat"

"Kau benar! Ini yang terbaik!"

"Sekarang pergi habiskan bekalmu dan kembali pada tugas. Ingatlah ada kemungkinan yang lebih buruk daripada ini"

Aku menunduk memandang sweater abu milik kakak kembarku yang masih menempel padaku untuk menutupi seragam yang tak bisa disebut rapi lagi setelah pemiliknya pergi.

Kau benar, ini bukan yang terburuk

Wanna See That With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang