6. Caravan Camp dan Sesuatu yang Terlupakan

578 52 2
                                    

"Kenapa tiba-tiba mengajak camping?"

Ayah Jimin menyilangkan tangan di depan dada. Air mukanya keruh. Pandangannya terkunci pada dua putranya yang sedang duduk berlutut sambil memasang wajah memelas.

Si sulung mencoba meraih tangan sang ayah. "Ayahku yang tampan dan baik hatinya," katanya lemah lembut.

"Kau ini masih sakit, Jimin, dan harusnya besok lusa jadwalmu kontrol ke rumah sakit. Minggu kemarin tidak mau karena berbagai alasan. Mau jadikan ini sebagai alasan juga?"

Aduh, senjata makan tuan. Jimin harusnya tidak perlu menghadap ayahnya ketika jadwal kontrolnya sudah dekat. Ia lupa.

"Katanya Hyung mau check up setelah camping, Ayah. Hyung janji,"

Sontak Jimin melirik sinis. Adiknya berimprovisasi. Ia tidak pernah bilang begitu pada Jihyun.

"Sehari saja, kok! besoknya kita langsung ke rumah sakit. Benar begitu, 'kan, Hyung?"

Jimin mengangguk. Biar cepat saja urusan perizinan ini.

"Jimin masih harus banyak istirahat. Katanya mau cepat sembuh?"

"Aku juga bisa beristirahat di sana. Janji, tidak akan berlarian atau melakukan kegiatan berat. Aku bisa jaga diri." Jimin menjawab yakin. "Aku ingin lihat bintang, Ayah... langitnya sedang bagus sekali belakangan ini. Please?"

Jimin mengatupkan kedua tanganya. Untuk urusan merajuk, kemampuan Jimin cukup mumpuni. Apalagi wajahnya dibuat sedemikian rupa agar memelas. Tetapi, lain cerita jika berhadapan dengan ayahnya.

"Di atas rumahmu ini tidak ada langit? Kenapa harus camping segala hanya untuk melihat bintang?"

"Banyak pohon." Jimin membalas cepat, kemudian disambung Jihyun. "Dan berisik."

Helaan napas panjang terdengar. Kedua anaknya terlalu kompak untuk urusan seperti ini.

"Izinkan saja."

Itu bukan suara ayahnya, melainkan suara dari arah dapur yang terdengar. Dua detik kemudian, ibu muncul dengan satu nampan buah potong dan beberapa camilan.

"Kenapa?" tanya Ayah tak habis pikir, merasa dikhianati karena beberapa jam yang lalu mereka sepakat untuk menolak permintaan tentang liburan ke luar.

Ibu hanya tersenyum tipis sembari menaruh nampan di atas meja. Ia mengambil garpu, kemudian menyuapi Jimin dan Jihyun dengan buah anggur.

"Jimin bilang mau check up. Kalau begitu kesepakatannya jelas. Jimin mendapat liburan, dan kita juga bisa tahu bagaimana perkembangan kondisi Jimin."

"Aku sehat!" Jimin menyela.

"Semoga saja memang begitu, tapi kau belum pernah check up setelah sampai di Busan. Ibu khawatir—"

"Ibu..." rengek Jimin. Ia tidak mau membahas hal serius hari ini. "Kita langsung saja pada keputusan akhirnya."

Ayah melirik satu persatu wajah penuh harap di depannya. Lantas menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Ia sudah kalah.

"Ya sudah, besok kita pergi. Tapi..." Ayah memberi jeda. "... tidak di tenda. Kita sewa caravan saja. Kalau masih protes, terpaksa ayah cabut kembali izinnya."

"Tentu! Tidak masalah!" Jimin bersorak riuh. "Jihyun-aaah kita campiiiing!"

Ia memeluk Jihyun dengan wajah sumringah, menggoyangkan tubuh adiknya ke kiri dan kanan saking senangnya. Kemudian ganti memeluk ayahnya, tidak lupa meninggalkan kecupan lama di pipi. Terakhir, sang ibu yang sudah terkikik geli melihat anak sulungnya yang bersemangat juga ikut dipeluk dan diberikan hadian kecupan di kedua pipi dan dahi.

Last Show For Jimin [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now