9. Jimin yang Egois

6.6K 552 16
                                    


Malam ini Jimin ingin sendiri. Sore tadi, ia bersikukuh menyuruh Jihyun pulang dan minta tidak ada satupun yang menungguinya di rumah sakit. Besok pagi ia sudah boleh pulang, dan keadaannya belum separah itu. Semalam saja tanpa ada yang menunggu harusnya tidak jadi masalah.

Saat malam sudah semakin larut, Jimin masih terjaga di atas brangkar. Kepalanya dipenuhi suara-suara yang hanya bisa ia dengar sendiri. Lama sekali ia pandangi plafon kamarnya. Sesekali menghadap kiri, hadap kanan, duduk, pindah ke sofa, kemudian kembali lagi ke brangkar hanya untuk memunculkan kantuk. Sia-sia, karena suara-suara itu masih tetap muncul dan semakin membuatnya terjaga.

Ia menghabiskan satu malam penuh untuk merenung. Heningnya malam membawa Jimin pada ingatan masa lalu saat baru menjadi trainee. Ia hampir menyerah. Dulu, karena merasa tidak percaya diri dan mendapat tekanan dari banyak orang, ia sempat berpikir untuk berhenti. Jimin tidak ingin menjadi beban bagi siapapun. Menurutnya, jika berhenti bisa membuat keadaan jauh lebih mudah untuk teman-temannya, akan ia lakukan.

Namun, saat itu Jimin tidak akan kehilangan nyawa karena bertahan. Juga, akan tetap hidup meski memilih berhenti. Masih banyak yang bisa ia lakukan jika memang harus meninggalkan mimpinya. Membantu usaha orang tuanya, berkuliah, ikut casting di agensi lain, ada banyak sekali opsi.

Sekarang, ia hanya punya dua pilihan. Melakukan operasi segera dengan resiko cacat dan membuatnya harus berhenti dari Bangtan, atau tetap bertahan meneruskan apa yang sudah susah payah ia raih, namun memperburuk kondisinya.

Jimin harap, ia bisa mengintip sedikit saja garis kehidupan yang sudah Tuhan rencanakan untuknya. Ia ingin lihat pilihan mana yang ia ambil dan bagaimana kehidupan setelahnya.

🟣🟣🟣

Keesokan paginya orang tua Jimin tiba di rumah sakit. Jihyun tidak ikut. Setelah membereskan administrasi, mereka bertiga meninggalkan rumah sakit dalam keheningan. Perjalanan ke rumah jadi terasa lebih lama karena tidak satupun dari orang tuanya bersuara. Jimin sendiri sudah lelah berpikir semalaman, jadi ia biarkan saja.

Sesampainya di rumah, Jihyun menyambutnya dengan senyum hangat. Kontras dengan matanya yang nampak sayu. Si bungsu membantu kakaknya duduk di sofa, kemudian melesat ke dapur untuk mengambilkan segelas air.

Hyung tidak tidur?”

Pertanyaan Jihyun menyadarkan Jimin yang sejak tadi tanpa sadar terdiam di depan TV. Semalaman ternyata terlalu singkat untuk membuat keputusan seumur hidup.

“Kelihatan, ya?”

Jihyun mengangguk. “Maaf tidak ikut menjemput. Aku ada tugas di kampus.”

“Lalu kenapa masih di sini?”

Jihyun cemberut. “Ini mau berangkat. Kalau deadlinenya tidak mepet, aku pasti menemani Hyung di rumah.” Pemuda itu bangkit dan mengambil jaketnya yang tersampir di punggung sofa. “Kalau butuh teman hubungi aku, ya?”

“Pastikan saat makan malam sudah di rumah.” Ibu mereka menyahut dari arah dapur.

Jihyun memutar matanya di depan Jimin sebagai bentuk protes karena ibunya masih belum memberi kebebasan meski ia sudah kuliah. Sang kakak tertawa geli, kemudian menyuruh adiknya cepat berangkat agar bisa pulang tepat waktu.

Selepas kepergian Jihyun, Jimin bangkit dan duduk di meja makan sambil memperhatikan ibunya memasak. Lama-lama, wanita itu jengah juga dan akhirnya mematikan kompor, lalu duduk di depan Jimin. Ia sudah tahu bahwa anak sulungnya ingin menyampaikan sesuatu.

“Ada apa?”

Pemuda itu menatap wajah ibunya lamat. Ibunya juga kurang tidur. Wajahnya terlihat lelah dan sorot yang selalu menatap hangat itu sudah meredup. Berapa kali ibu menangis karenanya?

Last Show For Jimin [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now