4. Kedatangan tamu

9.3K 785 7
                                    

Pusing.

Jimin mengerjapkan mata beberapa kali, membiarkan retinanya beradaptasi dengan cahaya. Aroma khas rumah sakit langsung menyergap penciumannya.

"Jiminie?"

Suara Sejin terdengar pelan. Jimin melirik ke arah kiri, dimana Sejin yang tengah menatapnya cemas berdiri. Pandangan mereka bertemu sepersekian detik, sebelum kembali menutup mata karena pusing yang terasa.

Kepala Jimin rasanya seperti beputar tanpa henti.

"Aku akan kembali. Jangan tidur lagi, Jimin-ah!"

Sejin melesat cepat, kemudian kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat di belakangnya. Mereka berjalan cepat ke arah Jimin. Stetoskop dan peralatan lain disiapkan di samping brangkar.

"Biar kami periksa dulu," kata salah satu perawat.

Sejin diminta menunggu di luar. Dengan jantung berpacu, manajer Bangtan itu berdiri di dekat pintu. Ia hanya sendirian. Semua member dilarang menunggu di rumah sakit. Tidak peduli sekeras apa Taehyung merengek dan bergulingan di lantai karena enggan meninggalkan Jimin. Mereka harus istirahat yang cukup, meski Sejin tahu pasti mereka semua masih terjaga menunggu kabar darinya.

Lima belas menit kemudian, rombongan petugas medis itu keluar. Dokter yang memeriksa Jimin tersenyum tipis.

"Kondisi vitalnya bagus. Namun, kita masih harus memantau keadaannya sampai besok. Meskipun sudah sadar, ada baiknya tidak membuat pasien terlalu banyak bicara. Saya meninggalkan resep obat penghilang rasa sakit pada perawat apabila Tuan Park merasa sakit kepala."

Sejin mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih sebelum kembali masuk ke ruangan Jimin. Ia duduk di samping brangkar, menggenggam tangan mungil Jimin yang terasa dingin.

Mata Jimin masih terbuka walau tidak penuh. Bibir gemuknya bergerak pelan dari balik masker oksigen yang melingkupnya. Sejin segera paham bahwa anak itu ingin mengatakan sesuatu.

Sejin bangkit dari kursinya. "Ada apa?" tanyanya. Ia mendekatkan telinganya ke arah Jimin.

"J-jam..."

"Ah, kau tanya jam berapa? Ini sudah siang, Jiminie. Sudah pukul satu siang. Kenyang tidurnya?"

Mata Jimin mengerjap pelan.

"Ibu?"

"Masih belum sampai. Tidur saja lagi, ya? Nanti kubangunkan kalau sudah datang."

Jimin nampak tidak puas. Namun, karena kepalanya yang terasa berat dan rasa kantuk tiba-tiba saja menguasainya, pemuda itu lebih memilih menuruti perkataan Sejin.

*****

"Mau muntah," ujar Jimin lirih. Kepalanya masih terasa berputar meski sudah sadar sejak dua jam yang lalu.

Sejin dengan sabar membawakan wadah stainles yang memang dipersiapkan untuk Jimin. Ia membantu mengangkat punggung pemuda itu dan membiarkan Jimin mengeluarkan isi perutnya.

Dada Jimin naik turun. Kepalanya pusing, tetapi ia hanya bisa mengerang dan berharap rasa sakitnya segera hilang.

"Aku panggilkan perawat sebentar, ya," kata Sejin setelah membersihkan area bibir Jimin.

Kejadian itu terus berulang. Setelah muntah-muntah dan sakit kepalanya berangsur menghilang, ia akan kembali terlelap. Kemudian bangun ketika merasa sakit kepala dan kembali muntah. Beruntungnya, Sejin tetap merawat dan mendampingi dengan sabar.

Hari beranjak sore ketika Jimin terbangun dengan keadaan yang lebih baik. Ia dengar orangtuanya mengabari Sejin bahwa mereka sudah sampai di rumah sakit. Pemuda itu senang luar biasa, tetapi begitu melihat wajah ayah, ibu, dan adiknya, perasaan sedih langsung menguasai Jimin, sehingga yang bisa ia berikan sebagai sambutan untuk keluarganya adalah air mata.

Last Show For Jimin [TAHAP REVISI]Kde žijí příběhy. Začni objevovat