Page 15: Read

0 0 0
                                    

BAB 15 – Read

Saat ini, Akari memiliki dua pilihan, untuk lari dari pilihan yang telah ia putuskan dan semuanya selamat atau terus melanjutkan tapi berpotensi membahayakan orang sekitar. Bimbang tentu saja. Di saat ia merasa telah mendapatkan harapan, lagi dan lagi, ia kembali dijatuhkan. Tubuh gadis itu terdiam di depan pintu ruangan Iori dirawat.

Siapa yang menyangka bahwa malah Iori yang mendapatkan luka parah?

"Hanya dislokasi ringan di tangan kanan, tak perlu khawatir jadi masuklah," serunya dari dalam, seolah tahu kalau sosoknya akan masuk, mirip sekali dengan dia. Padahal, Akari belum mengucapkan apa pun. Tangan yang hendak mengetuk pintu itu pun mengurungkan niatnya. Karena ketahuan, ia tanpa basa-basi menggeser pintu, menampakkan seorang pemuda dengan pakaian biru muda keabu-abuan yang khas. Bau obat-obatan, stimulus indra penciuman yang tidak ia sukai.

Sebuah pemandangan familiar, namun terasa asing sekaligus menyakitkan. Ragu, ia memperhatikan ruangan tersebut terlebih dahulu. Kasur dengan selimut putih, tirai berwarna putih, dan begitu pula cat dindingnya. Akari sudah tak heran lagi akan nuansa polos serta memuakkan ini, entah mengapa.

Ia melangkah masuk, memperhatikan tubuh tegap pemuda itu seraya menaruh buah-buahan di atas meja kosong. Ia masih memperhatikan bulu mata yang lentik, iris hijau berkilau layaknya batu emerald, serta helaian rambut pirang yang diterpa oleh cahaya matahari siang tersebut. Jika Iori diam, mungkin saja Akari akan menyebutnya sebagai boneka Eropa. Menyadari tingkah gadis Jepang tersebut yang tak membuka mulutnya sama sekali, Iori memutuskan untuk memejamkan mata sejenak dan bertanya, "Kau tidak menjenguk Ryoume-senpai? Nampaknya, kamar kami tidak terlalu jauh."

"Ah, si bodoh—itu, maksudku, Taku akan kujenguk sebentar. Aku lupa membawa sesuatu untuknya. Lagipula, dia akan keluar dari rumah sakit dua hari lagi."

Canggung, rasanya tenggorokan Akari tersekat oleh sesuatu yang tak mampu ia lihat. Gadis berkacamata itu memalingkan wajah sembari menghela napas. Terlalu banyak yang ada di kepalanya, tidak bisa lagi ia proses sedemikian rupa. Kejadian itu satu per satu datang padanya, tiba-tiba, dan tak terprediksi seperti badai. Tetapi, ia pikir, perlu untuk segera mengutarakannya, "Apa kau yakin ... ingin melanjutkan ini? Karena kita tidak mengindahkan peringatan pelaku, kau malah berakhir rawat inap dua minggu di sini."

"Mah, enam hari di rumah sakit bersama tangan patah bukanlah pengalaman yang buruk. Malah, mungkin aku harus sedikit bersyukur karena bisa satu tempat dengan Nishiyama-senpai—atau tidak," ujar Iori terhenti sejenak tatkala mendapati sosok di hadapannya mendelik sebal. Lantas ia terkekeh pelan, lalu iris hijau itu melirik lembut padanya, "aku baik-baik saja. Kujou-senpai tidak perlu khawatir padaku."

Kau tidak perlu khawatir.

Bagaimana bisa Akari tidak khawatir? Perasaan gelisah terus saja mengetuk relung dadanya saat melihat pemuda itu duduk di kasur pasien dengan tangan yang di-gips. Jika kejadian tersebut kembali terulang di depan matanya, kemungkinan besar tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka, lagi. Untuk pertama kalinya, gadis itu merasa benar-benar tidak berguna hanya karena memori dan perasaan yang ia miliki kacau.

"Mengenai berhenti, aku tidak akan. Meskipun hal ini akan membahayakan nyawaku sekali pun," sahut Iori di tengah-tengah lamunan Akari. Terdapat keinginan yang kuat terpancar dari matanya, sontak membuat Akari semakin bimbang, "Senpai juga, saat mendapatkan kesulitan, bukannya prinsipmu adalah dengan tidak menerimanya begitu saja?"

"Kau tidak berniat untuk berhenti, huh. Apa perlu aku yang menghentikanmu agar kau tak kembali terluka?"

Kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu, entah mengapa, membuat ia tersipu malu. Tetapi, ekspresi itu segera menghilang tatkala menyadari sorot mata gelap yang dipancarkan dari iris hitam tersebut, "Kujou-senpai, aku tahu kalau kau khawatir. Namun, ada hal yang perlu kita lakukan dan itu adalah melanjutkan investigasinya. Kalau kita tidak menyelesaikan pilihan ini, akan ada korban lagi yang berjatuhan. Tetapi, aku tidak bisa menyalahkan dirimu jika ingin memilih untuk berhenti. Dua kepala lebih baik daripada satu, sayang sekali, aku tidak bisa mewujudkannya kalau kau berhenti, haha."

Suicidal Message [✓]Where stories live. Discover now