Page 12: Chance

1 0 0
                                    

BAB 12 – Chance

Tendangan keras diberikan pada seorang pemuda berambut cokelat. Kepalanya terasa mendidih ketika mengetahui tindakan bodoh dari sang pelaku. Bagaimana bisa ia malah berkunjung duluan tanpa mengabari mereka berdua? Jika saja Iori tidak mengabarinya, maka sudah pasti tidak akan ada yang tahu sosok maniak basket tersebut akan berbuat apa di hadapan Ichigo. Padahal, ia sendirilah yang menyarankan jadwal ini agar mereka berdua tenang. Tetapi, bisa-bisanya ia juga yang bertindak seenaknya.

Hari demi hari, hanya mampu bertingkah bodoh. Akari menyisir helaian rambutnya dengan jari-jemari kecilnya seraya membatin dalam hati, 'Yah, bukannya aku marah. Ia pasti bersikap seperti ini karena khawatir dengan kami berdua.'

"Kalian berdua terlihat dekat, ya," tutur Iori seraya memperhatikan dari iris hijaunya. Akari mengendikkan bahu, kembali memukul keras lengan pemuda itu, membuatnya mengaduh kesakitan. Iori masih memasang senyum, entah mengapa rasa kesal mulai mengalir di nadinya, namun ia mencoba untuk mengabaikannya. Lantas, ia kembali mengangkat suara sembari menarik paksa sudut bibirnya, tersenyum penuh makna, "benar-benar ... terlihat dekat."

Menyadari perubahan suasana hati dari adik kelasnya, Akari mengerutkan dahi dan melemparkan pertanyaan, "Ada apa denganmu, Hanakawa? Kalau kau merasa kurang sehat atau tidak sanggup untuk bertemu dengan Nishiyama-san, maka urungkan saja dan kembali ke rumahmu sana. Aku tidak memaksamu untuk harus ikut."

"Tidak, tenang saja, Senpai. Maa, aku tidak akan mengulangi kejadian sumbu pendekku seperti saat itu lagi. Kau sendiri bagaimana? Apa sudah siap untuk menemukan kebenarannya? Ya, kalaupun kita berhasil."

Sebuah pertanyaan yang menantang, tetapi Akari hanya membalas dengan anggukan kecil dan kembali menatap bangunan serba putih nan besar di hadapannya tersebut. Jawaban yang didengar dari Ichigo kali ini, seharusnya sudah dapat memberitahu akan kebenaran. Baik itu yang diinginkan olehnya maupun yang tidak diharapkan. Dari awal, Akari sama sekali tidak menganggap penyelidikan ini sebagai kompetisi. Tetapi, entah sejak kapan semua itu berubah karena perbedaan opini.

Mungkin memang akan berjalan seperti ini bila mempunyai pikiran dan hati yang berbeda. Akari tidak bisa menentang konsep tingkah laku manusia. Iris hitam dari balik kacamata itu memperhatikan kelopak bunga sakura yang mulai bermekaran. Ia pun bergumam dengan sendu, "Musim semi ... belum berakhir ya."

"Haha, tentu saja. Masih ada dua bulan lagi agar musim panas datang, Senpai."

"Benar, lho, Akari! Hum, aku sangat menantikan musim panas untuk datang. Kami akan mengadakan latih tanding soalnya. Itu sangat menyenangkan!"

Ketiga remaja itu telah sampai di gedung utama pelayanan, menghentikan langkah dan memutuskan untuk menghadap pada resepsionis. Sosok pirang yang paling muda di antara ketiga sosok tersebut melangkah maju dan mengangkat suara. Iori memberi salam, mengulas senyum ramah dan mulai mengobrol dengan suster yang menjaga bagian resepsionis, "Takahashi-san, apa Nishiyama-senpai ada di dalam ruangannya?"

Ekspresi cerah sekaligus hangat dipasang oleh seorang wanita paruh baya. Ia tersenyum, menyipitkan mata, membuat beberapa kerutan di wajah wanita tersebut. Takahashi menjawab, "Ara, Hanakawa-kun. Kau sangat baik selalu mengunjungi Nishiyama-chan, bahkan sampai membawa teman-temanmu untuk menjenguk. Iya, dia ada di kamarnya, seperti biasa."

Baik, huh?

Iori memasang senyum miring.

"Padahal, beberapa hari terakhir ini, kesehatannya sudah cukup membaik. Tapi, entah mengapa kembali lagi. Mungkin ada sesuatu yang membebaninya saat ini," lanjut sang resepsionis sembari memasang ekspresi cemas dan menyentuh pipinya sendiri. Lalu, ia memberikan pena dan kertas untuk mencatat nama. Iori pun menuliskan namanya sendiri dan membalas dengan tawa kecil, "Haha, iie, Takahashi-san terlalu berlebihan menyanjungku. Maa, terima kasih. Kalau begitu, kami permisi dulu."

Suicidal Message [✓]Where stories live. Discover now