Page 17: Believe

0 0 0
                                    

BAB 17 – Believe

Tiap hari, gadis itu selalu berusaha untuk menipu dirinya sendiri, mengabaikan suara pertolongan dari sosok yang dekat dengan ia. Kegelapan menyelimuti mereka berdua. Karena tak ada ikatan, salah satu telah berjalan sendiri, menuju kehancuran. Jika bisa, Akari ingin mencegah hal itu terjadi. Belum terlambat, ia mengulangi sugesti itu kepada dirinya sendiri. Takuma belum melakukan rencana selanjutnya.

Ia kembali tiba di kamar Iori, mengernyit tiap kali menatap keadaan tangan pemuda pirang tersebut. Menyadari ekspresi dari Akari, tawa kecil lolos dari bibir Iori. Ia menghela napas, paham betul akan kekhawatiran dan rasa bersalah yang dirasakan olehnya. Namun, mengapa gadis berkacamata itu napasnya nampak terengah-engah? Seolah telah berlari dengan sangat terburu-buru dari jalan yang panjang, padahal ia sendiri tidak meminta Akari untuk cepat datang ke sini.

"Ada apa, Senpai? Kau terlihat sangat lelah. Jangan-jangan, kau berlari?"

"Kalau kau sudah tahu, tak perlu tanyakan lagi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Akari, tergesa-gesa seraya mendelik sebal. Lalu, beberapa menit kemudian, hening melanda. Membutuhkan waktu dan keberanian hingga ia melanjutkan perkataannya, "aku ... tahu siapa pelakunya dan itu bukanlah Nishiyama-san."

Iori terdiam, menelisik ucapan tersebut dari iris hijaunya dengan tajam. Belum lama ini, gadis di hadapannya itu mengatakan ingin berhenti. Lantas, sepersekian jam lainnya, ia malah berkata hal yang bahkan Iori sendiri belum yakin akan jawabannya. Desahan pelan keluar dari mulutnya, Iori pun bertanya, "Atas dasar apa Kujou-senpai berkata seperti itu? Apakah perlakuan Nishiyama-senpai kepadamu tidak cukup untuk membuktikan semua kejadian ini?"

"Bukan! Maksudku ... bukan seperti itu. Dia juga ada kaitannya dengan insiden bunuh diri ini. Malah, memegang kunci yang besar, walaupun bukan mengarah kepada pelaku teror di sekolah kita saat ini."

Cengkraman Akari pada rok yang ia kenakan mengerat, merasa sedikit frustasi dan bingung harus menjelaskan seperti apa. Rasanya, ia ingin sekali untuk memukul Iori, dalam artian menyadarkannya. Menyadari kegelisahan sang gadis berambut hitam itu, Iori mengulas senyum dan menatapnya. Dalam situasi ini, yang perlu Akari lakukan adalah tenang. Ia berusaha memahaminya semenjak kali pertama bertemu dan ia tidak berniat untuk berhenti.

"Mah, mulai pelan-pelan saja dengan menyebutkan namanya dan kita bisa mengulik satu persatu bukti yang mampu kita dapatkan selama ini."

"Hah ... baiklah. Maafkan aku karena bertindak bodoh seperti ini."

Santai. Rileks. Hanya dua hal itu saja yang perlu ia lakukan.

Tatapan yang dilemparkan Iori kepadanya menyiratkan seperti itu. Lekas saja, jari-jemari lentik milik Akari itu menyisir rambut hitamnya sendiri. Ia mengambil tempat, mencoba mendinginkan kepala dan menormalkan deru napasnya. Iris hitam pekat tersebut ikut menatap lekat pada Iori seraya berdesis, "Pelakunya adalah ... Taku."

Ryoume Takuma, ya?

"Hm ... Ryoume-senpai?"

Iori tidak menampakkan keterkejutan sama sekali, malah terlihat cukup tenang dengan jawaban yang ia bawa tersebut.

Entah sejak kapan, suasana ruangan kamar itu terasa dingin. Padahal, suasana sore hari di musim semi ini tidak seharusnya seperti ini. Iori berdehem pelan, mengusap dagunya dengan tangan kiri, berpikir akan segala hal yang terjadi selama ini. Lalu, ia pun membalas sembari melirik ke arah jendela, "Sebenarnya, memang ada yang aneh dari aura Ryoume-senpai dan Nishiyama-senpai jika diperhatikan lebih. Aku pikir kadar aura kebenciannya sama sepertiku, namun selama enam hari ini bersama mereka, ternyata memang berbeda. Itu lebih dari yang kubayangkan. Kupikir, ia semakin membenci Nishiyama-senpai karena gadis itu mencoba untuk membunuhmu. Namun, bukan, ya?"

Suicidal Message [✓]Where stories live. Discover now