17. IKHLAS

185 11 0
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu, selamat membaca chapter tujuh belas. Semangat dan lancar puasanya, enjoy!💗

-

-

-

Gemuruh perasaan kecewa, marah, pasrah, dan berusaha untuk ikhlas menerima takdir. Saat ini, semuanya tercampur aduk menjadi satu, kata ikhlas memiliki arti mendalam di mana seseorang harus dengan lapang dada menerima suatu kenyataan dengan hati yang tenang. Menyerahkan semuanya kepada Sang pencipta.

Kata ikhlas memang mudah terucap, namun sulit untuk dilakukan. Apalagi setelah mendengar sebuah kenyataan yang selama bertahun-tahun disembunyikan, bagai gelas yang kosong, bertahun-tahun hidup di dunia, rasanya seperti sedang berada di alam mimpi. Kegaduhan yang sempat terjadi, seperti alarm yang membangunkan dari lelapnya tidur untuk kembali menjalani hidup yang dipenuhi banyak kenyataan pahit.

Mata bernetra coklat dengan tatapan kosong yang sayu dan penuh dengan kilatan kekecewaan, perlahan mata cantik itu tertutup bersamaan dengan jatuhnya butiran kecil bening. Membasahi lembaran kalamullah yang terbuka, dibarengi dengan bergetarnya suara Sang pembaca.

"Mā aṣāba mim musibatin fil-arḍi wa la fi anfusikum illā kitābim ming qabli an nabra aha, inna zālika 'alallāhi yasir."

Fara menahan tangisnya, ia tahu apa yang dimaksud oleh ayat dari surat yang sedang ia baca ini. Surat Al-Hadid ayat 22.

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.

"Pergi! Pergi dari sini, di sini tidak orang yang sedang Anda cari!"

"Jangan halangi saya untuk bertemu dengan anak kandung saya sendiri, nyonya. Saya berhak atas dia sepenuhnya!"

"Jikalau Om berhak atas dia, apakah dia mau menerima Anda sebagai orang tuanya? Anda telah menelantarkannya di tengah hujan deras, di sebuah tong sampah, dengan tali pusar yang masih ada! Orang tua macam apa Anda ini!"

"Diam! Tahu apa kamu tentang anak saya, dia bukan adik kandungmu! Dia anak sulung saya!"

"Om jangan seenaknya, selama ini apa yang sudah Om berikan pada Fara? Kami adalah keluarga yang sudah merawat dia dengan penuh kasih sayang, datangnya Om hanya membuat Fara terluka!"

Masih teringat jelas percakapan yang dipenuhi teriakan kemarin, setelah mendengar hal itu, Fara menutup mulutnya, beribu istighfar dalam batin Fara gumamkan, antara kaget dan tak percaya, Fara menatap kedua orang tuanya, Fatih, serta seorang pria asing yang sibuk beradu mulut. Sesak memenuhi dada, ia berbalik menuju rumah dengan derai air mata.

Apakah benar bahwa Fara bukanlah anak kandung dari Nando dan Fatimah? Yang artinya semua kasih sayang yang diberikan hanyalah sebagai rasa iba? Bukan ketulusan dari lubuk hati?

Sampai saat ini yang bisa Fara lakukan hanyalah mengurung diri di kamar, tanpa makan, ataupun istirahat. Pikirannya bercabang ke sana kemari, berusaha berpikir positif bahwa yang sedang dijadikan topik utama dalam keributan kemarin bukanlah dirinya.

"Nggak, nggak, kamu nggak boleh turun. Masih jauh ke sekolahnya, mending Abang nggak dibeliin oleh-oleh aja daripada adik perempuan Abang jalan kaki ke sekolah."

"Oke, Fara, anak abi yang cantik."

"Udah juga, sayang. Pokoknya semua hal yang berkaitan sama kamu, udah umi masukkan ke dalam koper."

"Kamu jangan deket-deket sama laki-laki lain, Fara."

"Apa gunanya semua kepedulian itu ya Allah, mereka hanya berempati padaku!" Fara menangis, di atas hamparan sajadah, dengan tubuhnya yang terbalut mukena. Fara meminta pengunjuk pada Sang pencipta.

Tak ada beban yang ditimpakan pada seorang hamba Allah, kecuali sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

"Ya Allah, aku tau jika semua yang terjadi terhadapku adalah kehendak-Mu. Semua yang sudah terjadi, sudah menjadi takdir untukku, namun andai takdir yang bersifat mubrom itu dapat menjadi muallaq, bolehkah aku mengubahnya dengan usahaku?"

Menutup kalamullah, Fara bersujud untuk yang entah ke berapa kalinya. Selama diam di kamar yang Fara lakukan hanyalah termenung, berdoa, dan menangis, hingga akhirnya tertidur dengan posisi bersujud di atas sajadah.

"Allahumma innii astakhiiruka bi'ilmika was taqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadlikal 'adhiim, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta'lamu wa laa a'lamu wa anta 'allamul ghuyuub. Allahumma in konta ta'lamu anna hadzal amra khairun lii fii diini wa ma'aasyii wa 'aaqibati amrii.

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk-Mu, dengan pengetahuan-Mu, aku memohon kepastian dengan ketetapan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang agung, Engkau Maha menetapkan dan aku tiada kekuasaan, Engkau Maha Mengetahui, aku tidak mampu mengetahui dan Engkau Maha mengetahui perkara yang tak tampak. Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui sungguh perkara ini baik bagiku, agamaku, kehidupanku, dan setelahnya."

Menyelesaikan ibadah sholat istikharahnya, Fara bangkit dari sujud. Melipat mukenanya, sesekali mengusap matanya yang bengkak karena terlalu sering menangis.

Semoga dengan sholat istikharah, Allah memberikan sebuah jalan keluar untuk Fara. Semoga masalah yang membuatnya mengurung diri di kamar, cepat selesai.

Tok tok tok

"Fara, ini umi. Kamu di dalam baik-baik aja, kan? Umi bawakan makan siang buat kamu, kamu dari kemarin di dalam nggak lapar?"

Fara bergeming, memilih untuk tak menjawab pertanyaan dari Fatimah. Semenjak mendengar keributan yang menyebutkan bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari Fatimah dan Nando. Fara merasa canggung.

"Fara, dengar suara umi, kan? Kalo ada perlu apa-apa bilang aja sama umi, abi atau Fatih, ya?"

Hening.

"Astaghfirullah ..." Fara mengusap wajahnya kasar.

Bila boleh jujur dalam lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya satu hari mengurung diri dalam kamar, menumbuhkan rasa rindu. Fara ingin tahu bagaimana keadaan Fatimah, Nando dan Fatih.

Bagaimana mereka menanggapi kenyataan yang baru saja Fara terima, apa mereka akan jujur dan mengungkapkan semuanya?

Tok tok

"Fara, ini abang. Kamu denger, kan? Temen kamu Dara, sama Aidan ke sini," ucap Fatih dari balik pintu.

Mendengar Dara datang, entah mengapa Fara merasa senang, rasanya Fara ingin menceritakan semua yang terjadi sejak kemarin.

"Iya."

Beranjak dari kasur, Fara memberanikan membuka pintu. Celah yang awalnya kecil, lalu membesar hingga pintu terbuka lebar. Menampakkan semua orang yang ada di ruang tamu, sedang duduk di sofa.

"Fara!"

"Kamu di dalam nggak apa-apa, kan?" Pertanyaan itu langsung memasuki gendang telinga Fara, umi, abi serta abangnya menampilkan raut wajah khawatir.

"Aku baik-baik aja."

"Ayo duduk, Fara."

"Iya, umi."

"Kemarin kenapa kamu nggak sekolah? Dicariin loh, Aidan aja ke sini, katanya sekalian mau ketemu camer." Belum sempat menjawab, Fara sudah dibuat kesal.

Melirik Aidan, laki-laki itu hanya diam. "Aku baik-baik aja," jawab Fara.

"Kemarin Reino nyariin kamu juga, dia bahkan marah ke aku, katanya mana Fara, mana Fara. Terus-"

"Udah, Dar. Jangan terlalu cerewet, nggak enak." Aidan memotong ucapan Dara. Ia tersenyum canggung ke keluarga Fara.

-

-

-

See you again 💗

Qisat Fara [END]Where stories live. Discover now