2. Masa Lalu

7 1 0
                                    

Happy reading!

Selesai shalat ashar, Yana dan Gufran berjalan ke tepi pantai. Seperti biasa sebelum menuju ke balai pengajian, Yana selalu mengantar ayahnya yang akan berlayar kembali.

"Ayah hati-hati ya," ucap Yana saat mencium tangan Gufran.

Gufran tersenyum. "Doain Ayah supaya bisa melihat putri cantiknya Ayah lagi," katanya.

Yana tertawa ringan mendengar perkataan Gufran. "Ayah bisa aja," katanya.

"Kenyataan, Sayang. Oh ya, nanti malam minta Bunda cerita tentang masa lalu kita. Kamu udah cukup besar untuk mengetahui apa yang seharusnya kamu tahu," ujar Gufran.

Yana mengerutkan keningnya. "Kenapa bukan Ayah saja yang menceritakannya?"

"Ayah tidak punya banyak waktu untuk menceritakannya. Lagi pula dengan Bunda cerita akan semakin berkesan.

Yana mengangguk saja.

"Ayah berangkat ya?"

Yana mengangguk dan melambaikan tangannya saat Gufran berjalan menjauh menuju kapal. Kemudian, ia meninggalkan bibir pantai menuju ke balai pengajian.

⏳⏳⏳

Pukul enam sore, selesai pengajian, Yana kembali ke pantai seperti biasa dengan selembar kertas dan pensil. Ia duduk di kayu yang masih terletak di tempat yang sama seperti kemarin. Kali ini, Yana melukis sebuah Gedung tinggi.

"Semoga aja suatu saat nanti Allah izinkan aku memiliki sebuah museum lukisan di kota metropolitan," gumam Yana sambil tersenyum. Ia yakin tidak ada yang mustahil selama ia bersama Allah. Jadi, ia tidak pernah takut bermimpi setinggi bintang di langit.

Selesai melukis gedung dengan nama 'Museum of Art', Yana membalikkan kertas tersebut sehingga terlihat sisi yang kosong dan kembali menggambar sebuah perpustakaan.

"Semoga Allah juga mengizinkan aku membangun sebuah perpustakaan di pesisir ini dan menjadi penulis dari buku-bukunya," ujarnya lagi dengan senyuman yang manis.

Selesai melukis dua impiannya, Yana kembali melipatnya menjadi sebuah perahu. Kemudian, menghanyutkannya ke lautan lepas dan pergi sebelum melihat kertas itu tenggelam dan rusak.

⏳⏳⏳

Azan magrib berkumandang. Yuna dan Yana bersiap-siap untuk melaksanakan shalat berjamaah. Selesai itu mereka membaca Al-Qur'an seperti biasa.

Selesai shalat isya dan makan malam, Yana mengajak ibunya bersantai di teras rumah. "Bunda," panggilnya sambil melihat bintang-bintang yang bertabur di langit menemani bulan.

"Iya, Sayang," sahur Yuna.

"Yana mau mendengar cerita tentang masa lalu keluarga kita. Lagi pula Yana sudah cukup besar untuk mengetahuinya," ujar Yana sambil menatap Yuna.

Yuna tersenyum mendengar permintaan Yana. "Benarkah Yana mau mendengarnya?"

"Iya, Bunda," sahut Yana.

Yuna mengembuskan napas. "Dengarkan Bunda, Sayang."

Yana mengangguk dan menatap Yuna dengan serius.

"Sebenarnya dulu ekonomi kita tidak kurang seperti saat ini. Dulu Ayah adalah pemegang salah satu saham terbesar di kota. Dulu kita adalah penduduk asli kota." Yuna berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Sebuah fitnah membaut Ayah dipecat dari jabatannya. Ayah difitnah sebagai koruptor di perusahaan sahabatnya sendiri dan sahabatnya itu tidak mendengarkan penjelasannya. Yang fitnah Ayah adalah orang yang iri dengan jabatan yang dimilikinya. Sejak saat itu Ayah bangkrut dan kehilangan seluruh harta sehingga kita terpaksa pindah ke pesisir untuk memulai kehidupan baru dengan modal hutang dari juragan ikan yang dulunya adalah ayah Zaky. Kemudian, pada tahun berikutnya Ayah dan Bunda kembali berhutang pada juragan sebelum bisa melunasi hutang sebelumnya untuk pengobatan Yana yang sakit saat itu. Kami juga kembali berhutang untuk sekolah Yana. Tanpa sadar hutang itu telah mencapai 50 juta dan sangat sulit untuk melunasinya." mata Yuna mulai berkaca-kaca. "Setelah juragan meninggal, Zaky menggantikan posisi ayahnya dan meminta Yana sebagai bayaran hutang itu," tuturnya mengakhiri dengan linangan air mata.

Yana memeluk ibunya dengan erat. "Jangan nangis, Bunda," tuturnya.

Yuna mengangguk dan menghapus jejak air mata. Ia melepas pelukan Yana dan menatap mata putrinya. "Maafkan Bunda ya, Nak," ucapnya.

Yana mengangguk. "Kakek dan Nenek Yana mana, Bunda?" Tanyanya penasaran.

"Yana hanya punya Oma yang sekarang tinggal di kota bersama Paman kamu yang merupakan adik Ayah," jawab Yuna.

"Jadi, Yana hanya punya Oma dari Ayah?"

Yuna mengangguk.

"Kenapa kita tidak pernah menjenguk Oma?" Tanya Yana.

"Yana mau Ayah di penjara?" Kata Yuna.

Tentu saja Yana langsung menggeleng.

"Pemilik perusahaan yang adalah sahabat Ayah itu akan memenjarakan Ayah jika dia kembali ke kota," ujar Yuna.

"Jahat banget mereka, Bun," ungkap Yana dengan kesal.

Yuna terkekeh mendengar kekesalan Yana. "Mereka baik, cuma salah paham aja," katanya.

"Biang keroknya siapa, Bun?"

"Orang yang iri pada Ayah," jawab Yuna.

Yana memasang wajah kesal sehingga Yuna hanya tersenyum melihatnya.

Seusai bercerita dengan ibunya, Yana kembali ke kamar untuk tidur. Sebelum tidur ia berdiri di balik jendela dan melihat bintang jatuh. Ia segera memanjatkan doa terbaiknya agar Allah mengembalikan haknya dan keluarganya.

_____________

How about this part?

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Aliana (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang