6. Awal Dari Sebuah Cita-Cita

3 0 0
                                    

Happy Reading!

Jangan lupa vote dan komentar ya!

________________

Yana terkejut di sepertiga malam terakhir. Ia tidak pernah rela menyia-nyiakan waktu yang indah ini untuk bermanja pada Allah. Ia bangkit dan dikejutkan oleh dua benda yang terletak di atas nakas. 

"Inikan android," gumam Yana sambil meraih benda persegi panjang yang dapat dipegang dengan genggaman. "Dua alat ini untuk aku?" Ia melirik benda satunya lagi yang lebih besar dari android ditangannya. Bentuknya segi empat dan berwarna biru. "Kalau memang ini untuk aku, cara menggunakannya bagaimana ya?" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian, ia mengangkat kedua pundaknya dan meletakkan kembali benda itu. Ia akan bertanya besok pada Lianda dan Putra perihal ini.

Yana melangkah ke kamar mandi yang tersedia di sudut kamarnya untuk berwudhu dan shalat dua rakaat. Ibadah dalam kesunyian malam memang sangat romantis karena ikatan kita dengan Allah akan semakin terasa.

***

"Masya Allah Yana, kamu sangat cantik dengan gamis itu," pujian Lianda langsung menyambut kedatangan Yana ke ruang makan. 

"Jangan puji Yana, Oma. Kan Oma yang memberikan pakaian ini untuk Yana. Jadi, Oma lah yang hebat dalam memilihnya," ujar Yana. Ia menghampiri Lianda yang sedang menggoreng ikan. "Biar Yana yang menggantikan Oma menggoreng," pintanya.

"Jangan! Nanti pakaian kamu terkena cipratan minyak goreng," sahut Lianda.

"Kan Yana bisa pakai celemek," kata Yana.

Lianda tersenyum. "Kalau Yana niat membantu Oma, tolong atur piring dan menu yang sudah tersaji di atas meja ya," katanya dan akhirnya Yana mengangguk patuh.

Ketika sedang menata piring dan menu di meja makan, Putra datang dan langsung duduk di salah satu kursi. Yana memberikan senyuman untuk menyambut pamannya itu. 

"Wah, Yana cantik banget ya, Ma," ujar Putra takjub setelah memperhatikan Yana.

Yana memutar bola matanya dan menghembuskan napas. "Ya Allah, Yana takut ujub dengan pujian ini."

Lianda dan Putra tertawa mendengar ucapan Yana.

"Ya sudah, mari sarapan dulu," ujar Lianda dan duduk di sebelah Yana yang sudah terlebih dahulu mengambil tempat. Mereka pun menikmati sarapan bersama.

Yana menyantap makanannya dengan setengah perasaan. Ia bisa menikmati makanan enak di sini. Sedangkan orangtuanya  bagaimana?

"Yana kenapa? Masakan Oma gak enak ya?" tanya Lianda yang memperhatikan Yana.

Yana tersadar dan menggeleng sambil tersenyum. "Enak kok, Oma. Yana cuma kangen sama Ayah dan Bunda."

Lianda tersenyum dan mengelus pundak Yana. "Makanya Yana harus semangat agar cepat bisa jemput Ayah dan Bunda," katanya.

Yana mengangguk. "Oh ya, di kamar ada android dan laptop. Itu untuk Yana?" Tanyanya ketika teringat dua benda yang masih tergeletak indah di atas nakas. 

Lianda dan Putra saling melempar senyuman.

"Insya Allah, benda itu akan membantu proses Yana menuju kesuksesan," sahut Putra.

"Tapi, Yana tidak pernah memakainya," Yana memang tidak pernah menyentuh barang seperti itu.

"Nanti Oma akan mengajari Yana menggunakannya," sahut Putra.

"Oma bisa menggunakannya?" Tanya Yana tidak percaya. 

"Yana remehin Oma? Gini-gini Oma lulusan kampus luar negeri lho," kata Lianda.

Aliana (On Going)Where stories live. Discover now