4. Two Brothers

1.9K 325 58
                                    

"Ini buat Bia, ini buat Ayi," ucap Jeya seraya memberikan mangkuk berisi potongan buah pada masing-masing anaknya itu.

"Makasih Mama," ucap Bia dengan senyuman cerah.

Jeya membalas dengan senyum yang tak kalah cerah. Ia pun menepuk-nepuk puncak kepala Bia penuh sayang. Mamanya itu memang orang yang gampang merasa gemas.

"Habisin semua, nggak boleh di-switch ya." Jeya menggerakkan telunjuknya memperingatkan.

Bia yang hendak memanggil adiknya itu urung. Seolah sudah hafal dengan kebiasaan anaknya, Jeya kini berganti menatap Bia.

"Pepaya itu bagus buat pencernaan Bia."

Bia menatap buah jingga itu lalu menggeleng penuh kengerian.

"Meskipun nggak enak, tapi Bia masih bisa makan 'kan?"

"Rasanya kayak e--"

"Nggak boleh ngomong buruk sama makanan." Jeya melotot. "Bia udah Mama bilangin berapa kali?"

Bia mencebik kecil sebelum menunduk. Kakinya sedikit menghentak-hentak kecil, kesal.

"Dan Ayi, awas kalo nuker sama punya Bia."

"Siap, tenang aja," ucap Nean seraya mengacungkan jempolnya.

Jeya mengusap kepala Nean kemudian berlalu meninggalkan mereka. Melakukan kegiatan di dapur yang memang sedang rajin-rajinnya.

Bia masih menunduk. Bibirnya terlihat gerak-gerak. Kebiasaannya kalau ada yang tidak disukai, pasti sibuk misuh-misuh sendiri. Nean yang melihatnya terkekeh kecil.

"Udah, nih." Nean menyenggol lengan Bia dan membuat cewek itu berhenti dari cosplay Mak Lampirnya.

"Ayi ...." Bia menatap Nean penuh haru dengan tatapan dibuat puppy eyes.

"Nggak usah lebay."

Bia mengedip-ngedipkan matanya. Yang membuat Nean mendengkus. Bia ini memang tipe yang kalau dilarang, malah semakin berusaha. Mungkin karena dirinya yang paling dimanjakan semua orang dalam keluarga ini.

"Yaudah kalo nggak mau."

"Mau!" Bia menahan mangkuk Nean. Dengan semangat ia memindahkan potongan pepaya pada mangkuk Nean lalu mengambil buah lainnya sebagai alat tukarnya.

Nean menggeleng kecil. Usia yang tidak terpaut jauh membuat mereka mengalami masa pertumbuhan bersama. Nean sendiri tidak merasa mempunyai kakak perempuan, karena faktanya kakak perempuannya itu lebih banyak mengandalkan daripada diandalkan. Lebih tepatnya dia menolak diandalkan. Kalau ditanya siapa pemilik tahta di keluarga ini, jelas Bia yang memegang urutan pertama.

Bel rumah tiba-tiba berbunyi, Nean terlihat hendak bangkit sebelum urung begitu mamanya terlihat lebih dulu berjalan ke depan.

"Yi, melonnya manis. Minta ya."

Belum juga si empu memberikan persetujuan, Bia sudah mengambil buah itu dari mangkuk Nean lagi.

"Neannya ada, Tante?" ucap seseorang yang sepertinya penekan bel tadi, samar-samar Nean mendengarnya.

"Eh-eh, apa?" tanya Bia ketika tiba-tiba Nean bangkit lalu menarik tangan Bia untuk ikut berdiri.

"Masuk kamar," suruh Nean.

"Lah ngapain?"

"Gue ada kerja kelompok."

Dahi Bia mengernyit. "Lo 'kan ngerjain di depan, gue di sini.

"Kalo mereka mau ke toilet, bakal lewat sini."

"Ini luas Ayi, gue di sini nggak bakal ngalangin jalan," ucap Bia seraya memutar mata.

Putus berbayarWhere stories live. Discover now