8. Amnesia?

757 163 35
                                    

Bia berlari kecil begitu Leon yang dipanggilnya menghentikan langkah. Secepat mungkin dia menghampiri cowok itu. Kebetulan koridor ini cukup sepi, begitu melihat Leon, Bia tak membuang kesempatan untuk melancarkan aksinya.

"Kenapa Bi?" tanya cowok itu dengan tanggapan ramahnya.

Pertama-tama Bia menyunggingkan senyum andalannya. Meski Leon masih tidak terhipnotis senyuman itu seperti yang lain, setidaknya Bia sudah punya pegangan jika Leon tidak akan mendepak usaha pendekatannya. Leon cukup menerimanya. Memang untuk orang yang tipe setia, Bia harus bekerja ekstra.

"Penjualan tiket dimulai lusa. Lo pernah war tiket sebelumnya? Gue bener-bener nggak ada pengalaman soal itu," ungkap Bia yang tak lupa ia bumbui rona-rona cemas di dalamnya agar orang lain merasa iba.

"Serius lusa? Wah, gue ketinggalan info kalo gitu," ucap Leon sembari membuka ponselnya. Memeriksa kebenaran berita yang baru saja Bia katakan. Cowok itu terlihat mangut-mangut kecil.

"Lo lagi sibuk ya?"

Leon kembali mendongak dengan alis yang  menukik bingung. "Nggak kok."

"Kayaknya gue ngebebabin lo ya, Le?" Suara Bia merendah dengan iringan nada bersalah.

"Gue nggak sibuk, Bi," sergah Leon cepat. "Gue cuma ada kepikiran sesuatu aja, jadi nggak sempet buka sosmed. Gue free kok," papar Leon yang kemudian diikuti dengan senyum kecilnya.

Bibir Bia sedikit melengkung ke bawah dengan alis saling mendekat. "Tapi sama aja itu gue ganggu lo, gue nggak enak. Setelah dilihat-lihat mata lo juga keliatan kayak kurang tidur."

Leon menyentuh kelopak matanya kemudian terkekeh kecil. "Ini bisa dibilang bukan buat hal yang berguna juga. Serius, Bi. Gue nggak ada kegiatan apa pun kok. Lo nggak ganggu sama sekali."

Bia tak langsung menanggapi. Dia terdiam untuk beberapa saat. Tentunya hanya sebuah trik agar Leon membuat inisiatif sendiri.

"Gini aja, lusa gimana kalo kita keluar? Kita war tiket bareng-bareng. Di perpus alun-alun biar nggak kejauhan dari rumah. Gimana?"

Bia pun tersenyum cerah dengan mata berbinar. Umpannya berhasil dilahap habis. "Beneran, Le?"

Leon mengangguk.

"Makasih banyak, gue beneran bingung minta sama siapa kalo bukan sama lo."

"Enjoy aja, Bi. Btw gue ke kelas duluan ya," pamit Leon saat bel masuk berbunyi.

Bia mengangguk sembari melambaikan tangan, Leon pun mengangkat tangan sebelum meninggalkan cewek itu.

Bia memandangi punggungnya. Senyum di bibir Bia surut hingga tak berbekas. Dalam hati dirinya hanya bisa menggumamkan maaf. Bagaimana pun Leon adalah teman masa kecilnya.

"Lo udah sempurna banget jadi cowok, Le. Perhantian, lembut, sabar--"

"Minimal bisa dapetin cewek yang nggak leha-leha padahal udah bel 'kan ya?"

Bia nyaris meloncat karena kaget. Dia menoleh dan mendapati Zyan yang sudah berada di sisi kirinya.

"Bapak ngagetin." Bia mengusap-usap dadanya.

Zyan tidak menanggapi, dia hanya ikut melihat punggung Leon yang semakin menjauh. "Kamu suka dia?"

"Nggak."

"Tapi interaksi kalian cukup dekat, padahal beda kelas juga." Terdengar nada tidak suka dari perkataan pria itu.

"Kita temenan dari TK, Pak. Rumah juga nggak terlalu jauhan." Bia menatap pria itu. Tadi tidak ada hal aneh yang dirinya lakukan dengan Leon, sepertinya Bia bisa merasa aman.

Putus berbayarWhere stories live. Discover now