13. Hukuman

867 192 17
                                    

Bia bergumam, mengiyakan ucapan ibunya di seberang sana. Banyak yang wanita itu khawatirkan. Sudah seperti mengabsen, hal-hal kecil pun tak luput ditanyakan. Memang, ini pertama kalinya juga Bia berpisah jauh dari keluarganya. Mungkin karena itu ibunya waswas secara berlebihan.

"Kalo kamu mau pulang, bilang aja ya, Bi. Kerjaan Mama udah beres, besok Mama bisa jemput kamu kok."

Bia menghela napas. Lelah menjelaskan jika dirinya di sini baik-baik saja. Meski bukan berarti bahagia seperti biasa, setidaknya di sini dadanya tidak terlalu sesak akan permasalahan yang terjadi. Tidak terlalu buruk untuk melarikan diri.

"Bia bahkan belum ketemu Ayah. Mama tenang aja, nanti Bia tetep pulang naik kereta."

Giliran ibunya di seberang sana yang kini terdengar menghela napas. "Kalo ada apa-apa langsung telepon Mama, ya?"

Padahal nenek dan kakeknya di sini juga pasti tidak akan membiarkan Bia dalam kesusahan. Agar lebih cepat, Bia memilih  mengangguk. "Iya, udah dulu ya, Ma? Bia mau istirahat."

"Oh oke, Sayang. Istirahat yang cukup. Mama sayang Bia."

"Bia juga sayang Mama."

Cewek itu pun mematikan sambungan teleponnya. Dia yang semula berbaring dengan posisi telungkup itu berbalik dan baru menyadari jika Kaina yang tadi pamit menjemput adiknya itu sudah kembali. Kaina bersandar pada kusen pintu yang bisa dijadikan bahan spekulasi bahwa dia sudah lama di sana.

"Ajuan lo buat ganti nama jadi Deandra ditolak lagi?" tanya Kaina seraya berjalan mendekat lalu ikut membaringkan diri di samping Bia.

"Nggak ngajuin kok."

"Loh? Terus apa?" Cewek itu memandang dengan penasaran

"Apa, apa?" Kening Bia berkerut.

Kaina berdecak. "Lo pikir gue nggak tau, lo ke sini kabur, kan?"

Ah, apa Bia sudah bilang jika orang cerdas itu agak mengerikan?

"Emm ...." Kaina mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk. "Kalo bukan soal nama, terus apa dong?"

Demi Tuhan itu bukan sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan. Bia tidak ingin semakin banyak orang tahu tentang kesalahannya.

"Sana ah, gue mau tidur."

"Baru juga jam segini."

"Habis perjalanan jauh."

"Gitu doang aja, lagian di keretanya juga cuma duduk."

Bia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pergi. "Udah sana, lagian Bunda juga udah larang Nana nginep."

Kaina terlihat mendengkus. "Kenapa orang-orang begitu kejam sama gue?" Mata cewek itu terlihat menyipit sinis.

"Bukan jahat, tapi waktunya nggak tepat. Gue beneran mau istirahat."

Kaina berdecak. "Oke, gue pergi. Tapi lo harus mau gantiin gue."

"Gantiin apa?"

"Malam Minggu Tante Livia bakal tunangan."

"Tante Livia adek iparnya Tante Cheryl?"

Kaina mengangguk-angguk.

"Gantiin?!" Bia mengulang kalimat sebelumnya dengan mata membelalak. "Tante Livia kabur?" lanjutnya memekik kaget.

"Bukan gitu otak drama." Kaina menjitak kening Bia gemas. "Om Rafly kan nggak begitu punya banyak sodara, jadi Tante Cheryl nyuruh gue buat jadi bridesmaid gitu."

Bukannya mengerti, kening Bia malah berkerut. "Loh tunangan emang pake bridesmaid?"

"Nggak tau." Kaina menggerakkan bahu cuek. "Lo nggak pernah ke tunangan orang?"

Putus berbayarWhere stories live. Discover now