15. Benci

1K 211 17
                                    

Bia masih menepisi air matanya yang sulit sekali untuk berhenti. Bahkan dirinya sekarang mulai sesegukan.

Bia sebenarnya bukan anak secengeng itu. Dia masih bisa menahan tangis meski merasa sedih. Sayangnya dia sangat sulit menahan tangis yang didasari rasa kesal.

Fakta itu juga yang membuat dirinya semakin kesal, dan menangis pun tidak menemukan hilal pemberhentiannya. Menjadi paradoks, dan BIA MAKIN KESAL!

Bia duduk pada tepi ranjang. Dia menelepon Kean, berharap bisa mendapat ketenangan dari kakanya itu. Namun, sampai selesai nada tunggu pun, pria itu tidak menjawab. Bia mengerang kemudian beralih menelepon Nean. Lebih parah dari Kean, operator justru memberitahukan bahwa nomor Nean tidak aktif.

Bia mengerang lagi lalu melempar ponselnya pada kasur. Dia mengambil bantal kemudian memukulinya dengan brutal.

"KAK ARU JAHAT!" Bia meremas gemas bantal itu.

"Bia tau, Bia salah. Kenapa terus dipojokkin gitu." Bia menggigit bibirnya. Menahan sesegukan yang semakin terdengar sering.

Bia mengingat arsip yang dirinya lihat malam-malam kemarin. Di sana Bia menulis kata 'BAIK' dengan memakai kapital bahkan sampai Bia kasih tanda bintang.

"Mana baiknya? Nyatanya jahat kan! Nggak mau maafin yang udah bener-bener pengen minta maaf! Pendendam!" Bia memukul-mukul bantalnya lebih gemas.

"Bukan cuma Bia, Kak Aru dulu juga nipu Bia. Tapi kenapa cuma Bia yang disalahin!"
Bia menempelkan bantal itu pada wajahnya lalu berteriak sekencangnya. Mengeluarkan emosi sepuas-puasnya.

Setelahnya dia melempar asal bantai itu. Bia terengah-engah. Tangan mengusap-usap air mata di pipi yang sudah dipastikan mengerikan karena bercampur dengan make-up yang luntur.

"Kenapa sih gue jadi kayak gini?" Bia mengetuk-ngetuk kepalanya.

oOo

Jeya menempelkan telapak tangannya pada kening Bia. Merasa tak cukup, dia juga memeriksa suhu di leher Bia.

"Bia beneran udah nggak papa."

Acara pelarian diri yang gagal itu berakhir dengan Bia yang kembali pulang ke rumah. Bia mengikuti janji awal, hanya saja Senin kemarin dirinya malah tidak enak badan hingga harus membolos.

Bia sampai sakit karena terlalu memendam rasa kesal.

Bercanda, Bia hanya kecapekan karena perjalanan.

Tapi untuk rasa kesal itu, memang masih ada dan cukup kuat.

"Beneran?"

"Iya, Mama."

Nean datang mendekat, menepuk bahu Bia agar bangkit. Dia pun meraih tangan Jeya untuk salim. "Kita berangkat dulu, Ma. Takut kesiangan."

"Iya. Titip Bia. Kalo badannya nggak enak lagi bilang ke Mama."

Nean mengangguk lalu berjalan lebih dulu ke luar. Bia mengecup kedua pipi ibunya sebelum ikut berjalan keluar.

Nean sudah siap di atas motornya, tangannya mengulurkan helm. Bia menatap dalam diam untuk beberapa saat sebelum menghela napas besar dan menerimanya. Bia tidak pernah merasa seberat ini untuk pergi ke sekolah.

"Ayo, Bi."

Bia mencebik kecil sebelum naik pada boncengan Nean.

oOo

Mereka sampai dengan waktu yang mepet dengan jam masuk. Akibatnya Nean mendapatkan area parkir di paling timur yang artinya sampingan dengan tempat parkir untuk guru. Jika sebatas itu saja Bia tidak masalah, tapi kenapa harus juga Zyan dan mereka datang di saat yang bersamaan? Parkir bersebelahan pula.

Putus berbayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang