10. Target

843 172 38
                                    

Bia melambai penuh semangat lalu melakukan kiss bye begitu dirinya harus berpisah dengan Nean karena arah kelas yang berbeda. Nean hanya mengangguk-angguk kecil. Bia pun tersenyum lebar. Memang tidak bisa mengharapkan respon heboh dari Nean. Cowok itu tipe yang suka langsung melakukan tindakan, daripada menghambur-hamburkan suara. Bodo amat, yang penting dia selalu berpihak pada Bia.

"Eh!" Bia seketika menahan kakinya. Dirinya hampir saja menabrak seseorang. Karena fokus melihat Nean, sampai tidak melihat ke arah depan.

"Maaf, Pak." Bia menampilkan senyuman lebar lagi. Di depannya Zyan berdiri dengan raut tanpa ekspresi. Bia terpikir, kenapa orang-orang di sekitarnya banyak yang punya sifat begitu ya? Padahal saat tidak di publik mereka itu tidak kaku malah suka heboh juga.

Eh?

Zyan gitu 'kan?

Atau tidak?

Mendadak Bia merasa bingung dengan hal yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa. Perasaannya tiba-tiba hanya merasa begitu.

"Lain kali jalan sambil dilihat, bahaya."

"Tenang Pak, saya bukan Mama saya kok."

Zyan mengangkat alis tidak mengerti.

"Maksudnya, makasih buat nasehatnya, Pak. Hehe ...."

Zyan memperhatikan wajah Bia. Tidak ada yang dikatakan hingga Bia perlahan menghentikan tawanya. Bia mengerjap bingung. Dirinya pun mulai terpikir apakah mungkin ada sesuatu yang aneh di wajahnya.

"Pak?"

Zyan mengerjap, dia pun membuang pandangan. "Hati-hati," ucapnya kemudian berlalu melewati Bia.

Bia pun berbalik dan mengamati punggungnya yang menjauh. Setelahnya Bia terbingung kenapa dia harus mengamati kepergian pria itu.

oOo

Bia duduk di bangkunya. Rupanya Kintan tengah asyik mengobrol. Dua cewek yang duduk di depan mereka menghadap belakang. Di meja Bia bahkan ada beberapa snack yang terbuka.

"Pokoknya setelah ada Pak Zyan, tipe gue jadi berubah," ucap Yena yang disertai wajah mendambanya.

"Karena Pak Zyan, gue jadi tau pesona orang pinter itu dahsyat banget," tambah Vita dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda.

Bia hanya menggeleng-geleng. Dirinya tidak tertarik akan obrolan. Bia juga bukan tipe yang rajin-rajin amat, jadi ia tidak akan membuka buku untuk menunggu bell. Lebih baik dirinya merebahkan kepala pada meja saja.

"Eh, Bi!" Vita cepat-cepat menahan Bia yang hendak membaringkan kepala itu.

"Pak Zyan 'kan temen Kakak lo, lo tau nggak kalo di luar Pak Zyan tuh gimana?" tanyanya. Namun, ada banyak pasang mata yang kini menatap Bia. Bahkan sampai berkerumun mendekat untuk bisa mendengar apa jawaban Bia.

"Gue nggak tau."

Mereka langsung menghela napas kecewa. Tatapannya terlihat tidak suka.

"Masa nggak tau sih, Bi? Jangan-jangan lo bohong deh soal temen kakak lo itu?"

Bia mendesis. "Ngapain gue bohong deh? Lagian kenapa gue juga harus tau? 'Kan yang temenan bukan gue."

Mata Vita memicing. "Atau lo mau deketin Pak Zyan sendirian? Curang, Bi. Kita bersaing yang adil dong. Siapa pun yang menang, minimal start-nya sama."

"Emangnya Pak Zyan tropi?" Bia mendengkus. Dirinya tidak suka jika anak-anak cewek sudah bersikap seperti itu.

Yena memegang tangan Bia dan sedikit mengguncang-guncangnya. "Ayo, jangan pelit informasi, Bi."

Putus berbayarWhere stories live. Discover now