Flat Life

103 24 5
                                    


Bangun pagi, mandi, memperhatikan sekali lagi seragam yang akan kugunakan, lantas berkejaran dengan waktu sampai tiba di Senayan. Sarapan ala kadarnya, bekerja sepenuh hati, setulus jiwa, seteliti bagian keuangan tingkat dunia, jangan mudah menyerah apalagi mengeluh.

Repeat.

Hidupku seperti ini, apa adanya, yang terpenting tiap tanggal dua puluh lima desember, tabunganku setinggi pohon natal. Bonus tahunan yang dibagikan kantorku nominalnya tak main-main. Makanya aku semangat saja menjalani hari meski jenuh mulai melanda.

"Yuni," panggil Rindu yang matanya serupa kucing pengamat ulung. Kuakui, Rindu memiliki mata yang bagus. Yang sekarang tengah memandangi satu titik; pintu lobby utama.

"Ya, Kak."

Walau usia kami berbeda, tapi satu hal yang kutahu dan kupelajari di tempat kerja, posisi serta jabatan yang membuat panggilan itu berbeda. Tak masalah buatku. Lagian aku juga tak terlalu memusingkan perkara umur. Biar saja. Biar berlalu begitu saja tanpa kusadari. Lebih baik menggapai banyak hal yang sudah kubuatkan list-nya di dinding kamar.

Ada banyak jujur saja. Sebagian sudah dalam keadaan goal, sebagian lagi masih on progress terutama HanSui. Belum. Aku tak mau menyerah semudah itu. Ini baru tahun kedua aku mencoba. Masih banyak tahun yang bisa kugunakan untuk belajar dan mencari sela yang tepat untuk HanSui.

"Kamu sudah tahu, kan, kalau pengganti Dela hari ini datang?"

Aku tahu, sih, gosip mengenai penggantinya Dela. Aku bersyukur banget kalau Dela tak berkantor di sini. Gadis itu pantas dijuluki psikopat! Tak pakai senjata untuk membunuh seseorang. Sayang, dia salah menargetkan lawan. Mungkin kalau Dela menyasar ke aku, bisa jadi mental yang serapuh puyo ini berantakan tanpa sisa. Tak bisa lagi bekerja normal, malah mungkin maunya resign.

Tapi yang disasar seorang Rindu. Yang ternyata jauh lebih gila dibanding Dela.

"Tahu, Kak," sahutku ringan. Tanpa beban, yang lebih memilih untuk menghitung uang untuk laporan middle end hari ini. jangan sampai ada yang selisih. Aku senang bekerja dengan Rindu. Meski mulutnya kalau bicara kadang ditaburi bon cabe level lima, tapi cara kerjanya membuat aku nyaman.

Sudah gitu ... aku diterima di circle mereka!!! Astaga, Tuhan! Aku bersyukur banget. Punya teman yang menganggapku ada. Serius. Walau sering jadi penengah antara Dio dan Riana. Kapan, ya, mereka akur?

"Katanya cowok."

Aku tak terlalu peduli. Doaku hanya satu; semoga bisa jadi rekan kerja yang baik. Simple, kan?

Sayangnya doa dan pemikiran itu tak mendapatkan realisasi. Kedatangan anak magang yang segera saja mendapatkan atensi besar itu ternyata masalah baru untukku. Padahal aku tak tertarik sama sekali untuk ada di dekatnya. Kenapa juga dia mirip lintah yang menghisap habis darah, eh ... energiku selama beraktifitas di Senayan.

Mau tahu apa saja yang dia lakukan?

Mari kita bahas.

Oiya, belum kuperkenalkan namanya. Rafael Andre Prayoga. Cukup keren, tampang juga beken, tapi kelakuan buat aku senewen.

***

Entah sudah berapa kali aku menghela napas. Pertama jelas karena lelah, kedua karena pusing yang mendera, ketiga rasanya aku ingin sekali memukul kepala Andre berulang kali. Katanya ... anak magang dengan nilai terbaik. Lulusan S1 di Trijaya Sakti dengan IPK oke. Tapi ... ya Tuhan!

Salah tidak, ya, kalau aku banyak mengeluh?

Mau bagaimana lagi kalau Andre ini buat sabarku habis terkikis. Ada saja ulah Andre dalam beberapa hari belakangan sejak kedatangannya ke Senayan. Yang paling parah, kenapa juga selalu berlindung di balik punggung aku yang tak seberapa ini?

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now