Selain Alien, Andre itu Kepala Batu

109 25 24
                                    

Aku mau pake target koment kali ya.

Biar aku enak gituuu up-nya. Semangat.

Koment di ... ehm ... permulaan deh. 50 biji koment. Biar aku update lagi.

Ajak yang lainnya baca biar cepet tembus targetnya

****


Aku belum lupa saat Aufar mengakhiri hubungan kami. Selain aku ditinggal begitu saja di kafe tempat kami bicara, hujan turun dengan derasnya. Seolah mewakili kesedihan yang menghajarku habis-habisan. Bagaimana tidak, tanpa alasan yang jelas dan aku tak mendapat jawaban yang memuaskan, hubungan kami kala itu dianggap sekadarnya saja.

Dan sepertinya, semesta paling tahu cara membuat aku kembali mengingat hari sialan itu.

Baru saja aku melewati lampu merah, hujan mengguyur dengan derasnya. Aku agak gelagapan dan mempercepat laju motor. Padahal tak sampai lima menit aku tiba di unit tempat tinggalku. Slot parkir basement agar menurun yang membuatku segera mengurangi kecepatan. Bahaya kalau sampai selip dan aku terjatuh.

Aku buru-buru masuk. Membalas tergesa sapaan petugas keamanan juga resepsionis yang ada. Jaketku basah kuyup. Helmku sama nasibnya. Kuucapkan maaf lantaran keadaanku seperti ini sebelum menuju lantai sepuluh. Lantai tempatku tinggal.

"Astaga!" Livia jelas kaget menyambutku. "Lo enggak pakai jas hujan?"

"Tanggung banget gue sudah sampai di lampu merah tadi." Aku berdecak sebal.

"Cepat bilas, sekalian mandi. Lo bisa sakit kalau kena hujan."

Aku juga tahu apa yang harus kulakukan. Sedikit kudorong tubuh adikku yang menghalangi pintu. "Lo sudah makan?"

"Sudah. Gue tadi beli soto Betawi. Gue hangatkan?"

Adikku memang perhatian. "Oke."

"Mandi keramas, Kak, biar lo enggak pusing."

"Yang basah helm gue, bukan kepala gue."

"Ih, dibilangin. Gue nurut sama Mama sampai sekarang enggak pernah sakit karena hujan. Lagian lo macam enggak tahu Mama sering cek keadaaan kita."

Langkah Livia mengekoriku. Di Jakarta, aku tinggal hanya bersama Livia. Mama dan Bapakku tinggal di Semarang. Tugas Bapak sebelum pensiun, mengabdikan diri di sana. Aku ingin mandiri di Jakarta. Meski awalnya sukar mendapat izin, tapi karena Livia juga tak ingin kuliah di Semarang, akhirnya kami diizinkan tetap tinggal di Jakarta.

Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku ketat.

Tadinya kami kost di sekitar Blok M. Tapi aku merasa kurang cocok dan mulai terganggu dengan sekitar. Pemuda di lingkungan sekitar kost, selalu berisik dan menganggu ketenangan. Aku butuh istirahat tenang, kan? Livia juga butuh konsentrasi karena tengah menghadapi banyak ujian. Makanya kami putuskan untuk menyewa apartement. Sudah hampir enam bulan kami tinggal di sini.

Kutaruh asal tas di meja makan. Prioritasku berganti pakaian. Aku memang mudah sakit kalau udara terlalu dingin atau pakaianku agak lembab.

"Kak, hape lo bunyi terus," kata Livia setengah berteriak. Padahal aku baru saja masuk ke dalam toilet. Belum juga selesai melepas celana yang basah, sudah ada saja gangguannya.

"Biar saja," sungutku. "Paling juga penawaran kartu kredit. Enggak penting." Tak ada lagi suara Livia. Mungkin adikku itu sibuk dengan urusannya di dapur. Tapi itu hanya sementara. Samar kudengar, ponselku kembali minta perhatian.

"Marketing kartu kreditnya namanya Andre, Kak?"

Gerakku mengenakan kaus longgar terhenti. Dengan kecepatan penuh, aku berpakaian. Tak peduli kalau rambut masih berantakan. "Mana hape gue?" kataku begitu berdiri di depan Livia. Adikku menatap dengan penuh heran juga curiga. Sembari menunjuk ponsel yang masih berdering di meja.

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now